Walau sebelumnya aku sempat mengunjungi Tana Toraja pada Desember 2010 yang lalu, tempat ini seakan mengundangku kembali mengunjunginya karena belumlah genap aku menjelajah Tana Toraja. Yang lalu aku hanya sempat menjelajah Tana Toraja bagian selatan. Kali ini aku bertekad untuk menjelajah bagian selatan dan utara.
Bersama teman seperjalananku yang sangat menyenangkan, kami bertolak dari Makassar menuju Tana Toraja dengan PO Litha dari Terminal Panaikang. Seharusnya kami berangkat dari Kantor Perwakilannya (sebutan orang Makassar untuk Depo Bus) yang terletak di Jalan Urip Sumoharjo Makassar (Telp. 0411-442263), namun karena kami 12 menit terlambat dari jadwal keberangkatan pukul 10 pagi, kami harus mengendarai ojek ke Terminal Bus Panaikang Pelataran 5.
Wah seru sekali naik ojek saat itu....benar-benar kesetanan ngebutnya hahaha....sampai tidak sempat menikmati pemandangan sekeliling. Aku hanya tahu melewati Monumen Ayam, lalu pasar tradisional yang entah apa namanya, lalu perempatan lampu lalu lintas, kemudian belok ke kiri. Aku sempat berpikiran buruk sewaktu melewati tempat itu karena jalan itu begitu sepi dan hanya ada container sampah di sisi kiri jalan. Oh tidak....sudah ketinggalan bis, masih diculik oleh tukang ojek. Untunglah ternyata itu hanyalah jalan masuk lain menuju terminal bus Panaikang.
Terminal Panaikang
Suasana terminal bus Panaikang tidaklah seramai yang ada di benakku. Mungkin itu dikarenakan terminal ini hanya semacam terminal transit bagi bus-bus yang bertolak dari Makassar ke arah utara guna mengambil para calon penumpang di sana. Terdapat banyak sekali para penjaja buah dalam kemasan plastik ataupun keranjang nilon. Mereka bolak-balik naik ke atas bus menawarkan apel, anggur, maupun langsep sebelum kemudian bus melaju ke arah Tana Toraja.
Hujan mengguyur bumi celebes beberapa saat setelah bus meninggalkan terminal Panaikang. Melihat hujan turun aku tersenyum dalam hati karena teringat perkataan sahabatku yang mengatakan bahwa jika traveling denganku selalu terbebas dari hujan walau saat musim penghujan, mungkin aku ada turunan pawang hujan hahaha.
Bus Litha melaju sejauh 324 km menuju Rante Pao. Keistimewaan naik bus ke Tana Toraja adalah para penumpang diturunkan persis di pintu masuk hotel atau alamat yang dituju, jadi tidak perlu takut akan tersesat.
3 hari sebelum berangkat, aku telah memesan kamar di Wisma Maria 1 yang terletak di Jalan Ratulangi Rantepao (Telp. 0423-21165). Wisma Maria 1 adalah rujukan utama para backpacker. Oleh karena itu, mereka hanya menerima reservasi 1-3 hari sebelumnya. Sebenarnya ada beberapa pilihan kamar di Wisma Maria 1, namun karena ingin memanjakan diri, aku memilih tipe kamar yang lengkap dengan air panas dan siaran TV kabel. Untuk fasilitas seperti itu, aku harus merogoh kocek Rp 118.000/malam. Murah sekali ya? Sedangkan untuk tipe kamar tanpa air panas dan TV hanya perlu menyiapkan anggaran sebesar Rp 88.000 - Rp 98.000,-
Kondisi kamar Wisma Maria I
Kami turun di depan Wisma Maria 1 tepat pukul 7 malam. Hal pertama yang aku tanyakan di front office adalah sarana transportasi yang bisa aku sewa selama berada di Tana Toraja. Ada beberapa pilihan sarana transportasi, yaitu sepeda gunung (Rp 50.000/hari), sepeda motor (Rp 60.000/hari excld. BBM), atau mobil (Rp 300.000/hari).
Karena aku pergi berdua, maka aku dan teman seperjalananku sepakat untuk menyewa mobil. Dengan sigap dan ramah sang reception mereferensikan Bapak Ucok - pria asli Toraja yang bernama Batak (HP 0852-43087705). Sebenarnya harga Rp 300.000 adalah harga untuk mengitari salah satu wilayah Toraja saja, namun karena aku sudah mengetahui spot-spot mana yang ingin aku kunjungi, akhirnya kami beroleh kata sepakat.
Setelah mandi, aku dan temanku berjalan kaki menuju Kantor Perwakilan Litha yang terletak tak jauh dari Wisma Maria 1 untuk membeli tiket kembali ke Makassar keesokan malamnya. Kali itu kami memilih bus suspensi yang harga tiketnya hanya selisih Rp 10.000 dari tiket bus AC biasa.
American Breakfast ala Wisma Maria I
Keesokan paginya tepat hari Minggu. Kami sengaja bangun pagi-pagi supaya kami sempat beribadah sebelum kami menjelajahi Tana Toraja. Persis di depan wisma, terdapat gereja kharismatik namun jam ibadah baru dimulai pukul 8 pagi, sedangkan kami sudah deal untuk dijemput di wisma pukul 08.30. Sayup-sayup kami mendengar lagu puji-pujian tanda sebuah kebaktian sedang berlangsung. Kamipun mengikuti sumber suara dan menemukan Gereja GPIB Tabernakel yang terletak bersebrangan dengan Gereja Katolik. Syukurlah kami bisa mengikuti ibadah yang dimulai pukul 6 pagi. Selesai ibadah tepat pukul 8 pagi, kami berjalan kaki kembali menuju hotel untuk menikmati American Breakfast (telur mata sapi + roti panggang + mentega + selai + kopi / teh). Tepat setelah kami sarapan, Pak Ucok tiba dan perjalanan kamipun dimulai.
Kete'kesuAda yang berbeda di Kete'kesu kali ini karena sedang dilaksanakan persiapan salah satu bangsawan. Bambu-bambu terbaik dipilih untuk membangun tongkonan tempat menyimpan mayat. Karena yang meninggal adalah seorang janda, maka pesta adat dilaksanakan dengan lebih meriah. Hal ini dikarenakan ibu diagungkan di bumi Toraja. Jadi semisal pada saat sang suami meninggal, pihak keluarga menyembelih 10 ekor kerbau, maka pada saat sang istri meninggal, pihak keluarga menyembelih 2-3 kali lipat dibanding saat pemakaman sang suami. Untuk memasuki kawasan wisata Kete'kesu pengunjungi dikenai tiket masuk sebesar Rp 5.000/orang.
LemoBerbeda dengan di Kete'kesu, makam suku Toraja di sini ditempatkan di dalam lubang yang dibuat di dinding batu. Tak ada perubahan jika dibandingkan dengan kunjunganku sebelumnya. Tempat ini masih tetap memukauku. Untuk memasuki lokasi wisata Lemo, dikenakan tiket masuk sebesar Rp 10.000/orang.
Kambira
Makam khusus bagi para bayi yang belum tumbuh giginya. Mayat-mayat bayi ditanam di dalam lubang yang dibuat pada batang pohon. Untuk memasuki kawasan Baby Grave Kambira dikenai tiket masuk sebesar Rp 5.000/orang.
Sebenarnya setelah dari Kambira, Pak Ucok menawarkan kami untuk mengunjungi Swaya (makam raja-raja) karena lokasinya yang tidak terlalu jauh, namun bagiku pribadi yang sebelumnya sempat mengunjungi Swaya, tempat itu kurang menarik untuk dikunjungi karena lahannya yang sempit dan layout makam yang hampir sama seperti di Lemo (makam di tebing batu).
Londa
Nah, inilah tempat yang tepat untuk melihat kerbau bule, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Saleko. Jika tidak terdapat pawang / pemberi makan kerbau Saleko, jangan berdiri terlalu dekat dengan kerbau Saleko karena kerbau Saleko cenderung agresif pada orang-orang yang tidak dikenalnya.
Makam suku Toraja di tempat ini ditempatkan di dalam gua. Ada 2 mulut gua di tempat ini, namun sebenarnya kedua gua ini saling berhubungan satu sama lain. Hanya sayangnya seiring pertumbuhan stalaktit dan stalakmit, jalan penghubung antara kedua gua ini hanya bisa dilewati dengan posisi merayap. Ogah merayap, aku lebih memilih memasuki masing-masing gua dari tiap mulut gua.
Makam gua Londa menjadi saksi bisu kisah kasih tak sampai. Dua buah tengkorak "Romeo dan Juliet" tergeletak di salah satu ruang gua. Konon kedua insan itu saling mencintai namun tidak mendapat restu keluarga karena masih ada pertalian darah (saudara sepupu). Merekapun akhirnya memilih untuk mengakhiri hidup mereka dengan gantung diri. Pada akhirnya mereka disatukan di dalam 1 peti di upacara pemakamannya.
Selain makam di dalam gua, terdapat juga makam di dinding gunung batu. Makam itu khusus untuk para kaum bangsawan, sedangkan makam gua tadi diperuntukkan bagi masyarakat biasa.
Untuk memasuki kawasan Londa dikenai tiket masuk sebesar Rp 5.000/orang ditambah biaya sewa lampu halogen sebesar Rp 25.000 dan jasa guide (suka rela).
Bori ParindingTempat ini mengingatkanku akan salah satu komik favoritku: Asterix. Mudah ditebak memang karena di tempat ini terdapat batu-batuan menhir raksasa yang ditata membentuk lingkaran-lingkaran kecil. Hanya keluarga bangsawan yang diperkenankan untuk melangsungkan tradisi ini. Untuk mastk ke lokasi wisata Bori Parinding dikenakan tiket masuk sebesar Rp 5.000/orang.
Sama seperti di Kete'kesu, saat itu di Bori Parinding sedang dilaksakan persiapan pelaksanaan pemakaman bagi seorang janda bangsawan yang rencananya akan diadakan pada Mei mendatang.
Batutumonga
Sesuai namanya, di Batutumonga terdapat banyak sekali batu raksasa. Batutumonga sendiri berarti batu raksasa yang menengadah ke langit. Walaupun baru pertama kalinya berkunjung ke tempat ini, tempat ini langsung menjadi tempat favoritku. Layak disebut negeri di atas awan karena memang di sinilah puncak Tana Toraja. Dari sini aku dapat melihat Rantepao dari kejauhan, hamparan terasiring sawah, dan pegunungan yang membiru.
Tempat ini sungguh-sungguh mempesonaku. Sangat cantik! Walaupun jalan menuju puncak Batutumonga berliku dengan pohon kopi di sisi kanan kiri jalan dan bergelombang serta sempit, hal itu sangat sepadan dengan kecantikan alam yang disajikan. Berbeda dengan tempat-tempat wisata di Tana Toraja lainnya, di sini tidak dikenakan biaya sepeserpun untuk menikmati kecantikan alam Tana Toraja.
Adalah sudah menjadi tradisi suku Toraja jika meninggal harus dimakamkan di bawah langit, di atas tanah (tidak boleh dikubur). Oleh karenanya makam-makam di sini dibuat di bukit batu, goa, pohon, bahkan batu. Maka karena di Batutumonga banyak dijumpai batu berukuran raksasa, jika terdapat suku Toraja yang meninggal di daerah ini, maka ia akan dimakamkan di dalam batu raksasa (liang), namun ada juga makam yang sengaja dibangun di atas batu (petane).