Tuesday, December 20, 2011

BOS WANITA.....siapa takut?




Bertahun-tahun aku terbiasa dengan lingkungan kerja patrialisme, aku menjadi sangat terbiasa tunduk di bawah kepemimpinan dan kebijakan bos laki-laki sehingga pada saat aku harus mutasi dengan atasan wanita, langsung saja aku diperhadapkan dengan mitos bahwa "bos wanita lebih sukar dijinakkan dan banyak maunya".

Dasarnya aku sangat menyukai tantangan, tentu saja aku menganggap mitos itu angin lalu. Malah aku jadikan motivasi untuk bekerja lebih baik lagi.

Benar saja, setelah menjalaninya cukup lama, aku menjadi lebih paham bahwa baik atasan laki-laki maupun wanita memiliki karakteristik kepemimpinan yang berbeda-beda.

Dibandingkan atasan laki-laki yang biasanya cenderung melihat segala sesuatunya berdasarkan sudut pandang yang luas/global, atasan wanita biasanya lebih teliti dalam mengerjakan segala sesuatunya sehingga tentu saja dia akan lebih cerewet dari A-Z untuk mencapai standardisasinya itu. Namun, setelah kita menguasai atau paling tidak tahu standard kerja yang diharapkan olehnya, maka dijamin atasan tidak lagi cerewet.

Ditambah lagi atasan wanita ternyata mampu mengerjakan beberapa hal sekaligus (multitasking). Semisal hal ini bisa dilihat dari kemampuannya memimpin perusahaan sekaligus menjalankan organisasi yang diikutinya dengan baik, dan mengelola rumah tangganya dengan baik.

Tidak dapat dipungkiri bahwa atasan wanita lebih mudah didekati secara emosional, sehingga untuk proses pengajuan ijin keperluan keluarga jauh lebih mudah jika dibandingkan dengan atasan laki-laki. Hal ini terjadi karena metode komunikasi yang diterapkan adalah cenderung bersifat kekeluargaan. Kedekatan emosional ini bisa menjadi kekuatan sekaligus kelemahan atasan wanita. Dikatakan kekuatan jika bawahan dalam taraf tertentu menjalin persahabatan yang cukup akrab dengan atasan wanita, dikatakan kelemahan karena adakalanya perkara di luar kantor bisa terbawa ke ruang kerja atau sebaliknya. Berbeda dengan atasan laki-laki yang cenderung bisa membedakan antara sikap personal dan profesional.

Soal moody? Hmmm......dulu aku berpikir atasan wanita cenderung lebih moody dibanding atasan laki-laki dengan alasan wanita memiliki siklus bulanan yang membuatnya menjadi lebih sensitif. Ternyata itu tidak 100% benar karena mood swing sebenarnya tak hanya dialami wanita, tapi juga pria, apalagi jika tekanan kerja sedang tinggi. Jika ia terlihat sedang uring-uringan, tunda dulu membicarakan masalah sampai mood-nya cerah.

Jadi sejauh ini, aku menikmati bisa bekerja sama dengan atasan wanita. Benar-benar membawa suasana baru yang memacuku untuk bekerja lebih dan lebih baik lagi.

Monday, December 19, 2011

Iklas Menolong = Menyenangkan

Letih. Capek. Penat. Panas menjalar mulai tulang punggung hingga betisku. Jarum jam tanganku telah menunjukkan pukul 7 malam. Satu jam lagi genap 12 jam aku bekerja. Godaan untuk naik taksi pulang ke rumah begitu kuat, toh jalanan sudah tidak terlalu padat. Tapi entah mengapa, akhirnya aku memutuskan untuk naik angkot yang notabene harus oper berkali-kali.

Setelah menempuh perjalanan 10 menit, aku turun dari angkot. Berjalan untuk menuju titik biasanya angkot berikutnya ngetem. Nah, dalam perjalanan menuju titik ngetem angkot, aku beroleh pelajaran hidup.




Begini ceritanya...

Aku melangkahkan kakiku cepat-cepat dan lebar-lebar...kelihatannya sebentar lagi hujan akan turun. Bergegas menyusuri bahu jalan. Sekilas aku melihat seorang kakek dan cucunya duduk di atas sepeda mini. Pemandangan yang biasa. Aku segera berjalan melewati mereka.
Tiba-tiba sang kakek memanggilku lirih.

"Mbak, tolong."

Aku menoleh ke belakang, ke arah mereka. Penuh tatapan tanda tanya dan melangkah ragu mendekati mereka.

"Mbak, tolong," ulang kakek itu lagi.

"Ada apa, pak?"

"Saya punya baju..."katanya memulai percakapan sambil tangannya meraih bungkusan plastik berisi baju hem putih bergaris. Bukan baju baru, namun tampaknya itu baju yang sangat berharga baginya karena tangannya tampak bergetar meraih baju itu dan tatapannya berat. Sepertinya itu baju kesayangannya.

"Saya punya baju, mbak beli ya supaya saya bisa beli beras."

Aku terpaku. Bergantian aku tatap kakek dan cucu itu. Raut wajah mereka tergar menghadapi perjuangan hidup, pantang untuk meminta-minta selama masih bisa berjuang.

"Berapa Bapak butuh untuk beli beras?"

"25 ribu saja."

Haruskah aku membeli baju itu? Untuk apa aku membelinya? Aku jelas tidak membutuhkannya. Namun ada sesuatu dalam hatiku yang mendorongku untuk meraih uang yang ada di dompetku, walaupun saat ini bukan tanggal muda.

"Ini, pak....Bapak simpan saja bajunya untuk Bapak dan gunakan uang ini untuk membeli beras."

Kakek itu menatapku bingung dan setengah tidak percaya.

"Bapak ambil uang ini dan tetap simpan baju Bapak," ulangku.

Aku lalu melangkah berlalu. Perasaan bahagia membuncah di dadaku, menghilangkan seluruh penat dan capekku.

"Terima kasih, mbak," teriak sang kakek setelah aku beberapa langkah darinya. Aku berbalik tersenyum. Melihatnya membekap baju itu. Sang kakek dan cucu tersenyum dari atas sepeda kebo. Aku balas tersenyum seraya melambaikan tangan dan melangkah berlalu.

Terima kasih, Tuhan, Engkau izinkan aku untuk menjadi saluran berkatmu. Terima kasih, Tuhan......sungguh menolong itu menyenangkan.