Letih. Capek. Penat. Panas menjalar mulai tulang punggung hingga betisku. Jarum jam tanganku telah menunjukkan pukul 7 malam. Satu jam lagi genap 12 jam aku bekerja. Godaan untuk naik taksi pulang ke rumah begitu kuat, toh jalanan sudah tidak terlalu padat. Tapi entah mengapa, akhirnya aku memutuskan untuk naik angkot yang notabene harus oper berkali-kali.
Setelah menempuh perjalanan 10 menit, aku turun dari angkot. Berjalan untuk menuju titik biasanya angkot berikutnya ngetem. Nah, dalam perjalanan menuju titik ngetem angkot, aku beroleh pelajaran hidup.
Begini ceritanya...
Aku melangkahkan kakiku cepat-cepat dan lebar-lebar...kelihatannya sebentar lagi hujan akan turun. Bergegas menyusuri bahu jalan. Sekilas aku melihat seorang kakek dan cucunya duduk di atas sepeda mini. Pemandangan yang biasa. Aku segera berjalan melewati mereka.
Tiba-tiba sang kakek memanggilku lirih.
"Mbak, tolong."
Aku menoleh ke belakang, ke arah mereka. Penuh tatapan tanda tanya dan melangkah ragu mendekati mereka.
"Mbak, tolong," ulang kakek itu lagi.
"Ada apa, pak?"
"Saya punya baju..."katanya memulai percakapan sambil tangannya meraih bungkusan plastik berisi baju hem putih bergaris. Bukan baju baru, namun tampaknya itu baju yang sangat berharga baginya karena tangannya tampak bergetar meraih baju itu dan tatapannya berat. Sepertinya itu baju kesayangannya.
"Saya punya baju, mbak beli ya supaya saya bisa beli beras."
Aku terpaku. Bergantian aku tatap kakek dan cucu itu. Raut wajah mereka tergar menghadapi perjuangan hidup, pantang untuk meminta-minta selama masih bisa berjuang.
"Berapa Bapak butuh untuk beli beras?"
"25 ribu saja."
Haruskah aku membeli baju itu? Untuk apa aku membelinya? Aku jelas tidak membutuhkannya. Namun ada sesuatu dalam hatiku yang mendorongku untuk meraih uang yang ada di dompetku, walaupun saat ini bukan tanggal muda.
"Ini, pak....Bapak simpan saja bajunya untuk Bapak dan gunakan uang ini untuk membeli beras."
Kakek itu menatapku bingung dan setengah tidak percaya.
"Bapak ambil uang ini dan tetap simpan baju Bapak," ulangku.
Aku lalu melangkah berlalu. Perasaan bahagia membuncah di dadaku, menghilangkan seluruh penat dan capekku.
"Terima kasih, mbak," teriak sang kakek setelah aku beberapa langkah darinya. Aku berbalik tersenyum. Melihatnya membekap baju itu. Sang kakek dan cucu tersenyum dari atas sepeda kebo. Aku balas tersenyum seraya melambaikan tangan dan melangkah berlalu.
Terima kasih, Tuhan, Engkau izinkan aku untuk menjadi saluran berkatmu. Terima kasih, Tuhan......sungguh menolong itu menyenangkan.
Monday, December 19, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
berkat Tuhan perlu juga diberikan bagi mereka yang membutuhkan, dan lebih indah kalau berkat itu diberikan tanpa pamrih dan ikhlas... dan mungkin akan lebih indah lagi kalau baju itu kamu beli hehehe...bukan untuk dibuat apa, melainkan rasa hormat kepada kakek itu...hehehehe...proficiat... Tuhan Yesus memberkati...
lain kali lebih ati2 ya mbak...
Post a Comment