Saturday, April 30, 2011

Foot Note: Pengalaman Naik Bentor di Makassar

Sudah menjadi ciri khasku bahwa setiap aku traveling ke suatu daerah, maka aku harus mencoba kendaraan umum yang ada di daerah itu. Nah, ketika aku berada di Makassar, aku bertekad untuk menikmati fasilitas kendaraan umum yang ada di sana. Saat itulah aku mendapatkan sebuah pengalaman lucu.

Begini ceritanya...

Waktu itu aku baru saja turun dari Tana Toraja ke Makassar. Makassar masih gelap gulita, maklum saja karena waktu masih menunjukkan pukul 3.30 pagi ketika bis yang aku tumpangi dari Tana Toraja tiba di kota Makassar. Sempat bingung juga apa yang harus aku naiki untuk ke mess kantor yang terletak di Jalan Hertasning dari garasi PO Litha.

Jalan masih sangat lengang. Masih belum ada pete-pete (bemo/angkot) yang berlalu lalang. Untuk membunuh waktu, aku duduk-duduk di warung yang ada di depan garasi PO Litha. Menikmati sekotak susu sapi rasa coklat plus roti manis, cukup untuk menu sarapan awal.

Berdasarkan info dari penjual warung, aku harus naik ojek ke lokasi tertentu karena di situ belum ada pete-pete yang lewat. Ok, petualangan dimulai!

Ojek yang aku tumpangi melaju membelah udara dingin pagi. Brrrr...dingin sekali, mataku langsung melek! Aku turun di sebuah lokasi niaga. Cukup lama aku berdiri di sana menanti pete-pete. Akhirnya ada juga yang lewat. Begitu aku naik, aku langsung mengajak sang supir ngobrol.

Sebenarnya pete-pete yang aku tumpangi saat itu tidak melewati rute yang aku inginkan, tapi karena tahu aku dari luar kota dan hari juga masih sangat pagi plus aku satu-satunya penumpang, sang supir berbaik hati mengantarku ke pangkalan bentor ^_^

Di sinilah kisah lucu itu terjadi...



Pangkalan yang biasanya rame, kali ini hanya ada 1 bentor.

"Bang (seharusnya aku menyapa dengan sebutan "Daeng", tapi sudah terlanjur terlontar hehehe), ke Hertasning berapa?"

Supir bentor yang saat itu berdiri membelakangiku tidak bereaksi.

"Pak, tolong antar ke Hertasning," kataku lagi.

Dia tetap tidak bergeming.

Sialan nih orang, nolak rejeki...kataku dalam hati.


Tiba-tiba keluar seorang ibu separuh baya dari warung tenda yang ada di dekat situ.

"Mbak, supir bentornya bisu tuli."


Gubrak!!!!

Pantesan dia tidak bereaksi dengan permintaanku.


Lantas aku menepuk pundaknya, diapun menoleh.

"HERTASNING, pak, berapa?" kataku dengan lantang dan pelafalan mulut yang sejelas-jelasnya supaya dia bisa mengerti maksudku.

Tawar menawar terjadi seperti sedang bermain suit saat bocah. Akhirnya kami sepakat di harga 5 ribu rupiah.

Aku mulai menikmati hembusan angin kala naik bentor, saat itu aku baru sadar, gimana caranya menghentikan bentor ini? Tidak mungkin aku bilang stop / kiri / berhenti...aku juga ga mungkin melambaikan tangan karena posisi penumpang berada di depan dan pandangan pengemudi terhalang atap penumpang. Aku menggedor atap penumpang bentor dengan sekeras-kerasnya. Ternyata getaran gedoranku kalah dengan getaran sepeda motor. Jiah....susah amat!

Pfft...harus bagaimana lagi ya?


Akhirnya aku berdiri bergelantungan di bibir tempat duduk penumpang ke arah pengemudi, dan berpegangan pada atap penumpang.

"Berhenti, pak!" dan diapun menghentikan laju bentor.


Tak kusangka, ternyata naik bentor bisa seseru kala pagi itu.

0 comments:

Post a Comment