Wednesday, May 18, 2011

Foot Note: Lintas Borneo Part 1 (Balikpapan - Samarinda - Pampang)

Aku selalu bersemangat untuk menjelajahi tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya, khususnya untuk tempat yang belum semodern Jepang, Singapura, Hong Kong dll. Entah kenapa aku kurang bersemangat untuk bertamasya ke luar negeri akhir-akhir ini walau banyak promo tiket ke luar negeri yang sangat terjangkau. Aku sedang terpesona dengan keindahan alam Indonesia dan budayanya yang unik. Untuk apa aku buang-buang uang di negeri orang, sementara negeri sendiri belum semua kujelajahi? Oleh karena itu, aku berniatan untuk minimal menjelajahi pulau-pulau besar di Indonesia.

Dan salah satu wujud niatan itu terwujud: lintas Borneo!

14 Mei 2011


Karena tidak ingin membuang waktu jelajah, aku selalu mengambil penerbangan paling pagi untuk ke suatu tempat baru. Pesawat yang aku tumpangi mendarat mulus di Balikpapan pukul 9 pagi sesuai jadwal. Terik matahari langsung menyambutku sewaktu aku melangkah turun dari pesawat. Ternyata di Balikpapan jauh lebih panas dibanding di Surabaya. Dalam hati aku bersyukur untuk cuaca yang cerah kala itu karena jika hujan, maka aku tidak bisa bebas menikmati alam Borneo.





Di Bandara Sepinggan telah menanti 4 orang teman milis dari Jakarta. Kami semua akan menjelajahi Borneo bersama. Seorang teman milis yang bekerja di Balikpapan datang menjemput kami di bandara. Walau kami belum pernah bertemu satu sama lain (aku hanya pernah bertemu 2x dengan salah satu dari mereka), namun karena kami memiliki ketertarikan yang sama, maka dalam waktu singkat kami menjadi akrab satu sama lain.


Mahavihara Buddhamanggala - Balikpapan


Ini adalah spot pertama yang kami kunjungi. Vihara yang diresmikan oleh Menteri Agama pada 2008 ini berdiri dengan agung dan megah. Warna stupanya yang putih bersih seakan membelah langit biru. Untuk memasuki kawasan vihara, pengunjung diharuskan untuk melepas alas kaki.

Berdasarkan pengamatanku- entah benar atau tidak karena tidak ada guide di tempat itu - kawasan Mahavihara Buddhamanggala terbagi menjadi 3 bagian: Ruang Doa 1 yang di dalamnya terdapat patung Sleeping Buddha raksasa berwarna keemasan.


Pengunjung diperbolehkan untuk berpose di depan patung Sleeping Buddha, namun tidak diperbolehkan bila meniru pose Sleeping Buddha.

Ruang Doa 2 terletak di bagian kanan. Dulunya ruangan itu adalah ruang doa utama, namun sekarang telah dialihkan ke Ruang Doa 1 yang lebih lapang. Dalam ruang doa 2 terdapat Patung Buddha Duduk berwarna keemasan.


Dan bagian terakhir adalah bangunan stupa yang berada di antara kedua ruang doa. Di dalam bangunan ini terdapat stupa dan genta berwarna keemasan dan banyak sekali patung Buddha mini yang diatur dalam kotak-kotak yang menempel di dinding.

PPKLH Beruang Madu - Balikpapan

Mobil yang kami tumpangi meluncur menyusuri Jalan Poros Samarinda yang membelah hutan homogen di kiri kanan jalan. Sesekali terdapat komplek perumahan penduduk. Kami berhenti di KM 23 di mana terdapat PPKLH Beruang Madu yang terletak sisi kanan jalan. Dari jalan utama ke komplek PPKLH kira-kira menempuh jarak 1 km.
Di kawasan ini terdapat Rumah Lamin yang secara keseluruhan konstruksinya dibuat dari kayu. Suasana yang terik langsung lenyap pada saat aku melangkahkan kaki masuk ke dalam Rumah Lamin. Langit-langit rumah yang tinggi dan bukaan yang banyak menciptakan suasana sejuk. Tapi bukan itu daya tarik kawasan ini, melainkan konservasi beruang madu yang merupakan ikon kota Balikpapan.

Oleh guide, kami diajak menyusuri jembatan kayu yang menuju tempat pemberian makan beruang madu. Beruntung bagi kami karena walau bukan jam makan beruang madu, kami sempat menyaksikan kemunculan mereka. Ternyata beruang madu termasuk fauna pemalu.

Oleh guide kami dilarang berisik agar mereka tidak takut untuk muncul. Kami juga dilarang untuk memanggil nama mereka karena ditakutkan mereka tidak dapat mengenali suara petugas pemberi makan.

Tidak dikenakan tiket masuk untuk pengunjung yang mendatangi tempat ini, namun disediakan kotak retribusi. Dana yang terkumpul akan dipergunakan untuk maintenance kawasan konservasi ini.


Bukit Bangkirai & Canopy Bridge - Samarinda

Bukit Bangkirai dikelola oleh PT Inhutani I Unit I Balikpapan, untuk memasuki kawasan ini dikenakan tiket masuk sebesar Rp 19.000/7 orang. Suasana di sini benar-benar teduh karena begitu banyaknya pepohonan raksasa yang menjulang tinggi layaknya gedung pencakar langit. Sungguh pemandangan yang menyejukkan mata yang telah lelah dan bosan dengan pemandangan kota metropolitan.

Perjalanan dari Balikpapan ke Bukit Bengkirai adalah + 2 jam. Untuk mencapai lokasi Bukit Bengkirai dari Balikpapan, bisa dengan menggunakan sepeda motor atau mobil yang tinggi (sebangsa jeep) karena medan dilewati merupakan kombinasi jalan yang terbuat dari tanah dan aspal yang bergelombang, berlubang, dan berliku...benar-benar medan perjalanan yang berat. Kepalaku sempat terbentur sangat keras karena sang pengemudi melaju kencang seraya melintasi gundukan tanah.


Ada daya tarik lain di Bukit Bangkirai yang menyeretku ke sini, yaitu Jembatan Tajuk (Canopy Bridge) yang berjarak 500 meter dari pintu masuk. Melewati jalan setapak di tengah hutan lindung...serasa Lara Croft nih. Aku takjub dengan pepohonan yang tumbuh di sana, diameternya mencapai tinggi badanku! Kelihatannya seru kalau bermain petak umpet di sini ^_^

Jembatan Tajuk terbuat dari kabel dengan dasar papan kayu dan dinding kanan kiri dari jala tali nilon ini terbentang sepanjang 64 meter di ketinggian 30 meter di atas permukaan tanah (menghubungkan 5 batang pohon Bangkirai hidup).

Untuk bisa menaiki canopy bridge, aku harus naik menara dengan tangga berputar yang memiliki 139 anak tangga dan membayar tiket entry sebesar IDR 15.000 (wisatawan domestik) atau IDR 30.000 (wisatawan mancanegara).


Ada beberapa peraturan yang harus dipatuhi pengunjung atas nama keselamatan. Pengunjung hanya boleh menaiki jembatan ini jika cuaca cerah (tidak sedang hujan dan berangin untuk mencegah agar tidak tersambar petir). Pengunjung juga tidak boleh berlari atau melompat di atas jembatan....boro-boro lari, jalan aja jembatan sudah bergoyang-goyang seperti berjalan di atas kasur air!


Tangga yang harus dinaiki untuk menuju Canopy Bridge


Lebar Canopy Bridge yang hanya selebar 1 orang dewasa

View dari atas Canopy Bridge


Jembatan tajuk ini merupakan jembatan tajuk pertama di Indonesia, ke-2 di Asia, dan ke-8 di dunia.


Jembatan Tenggarong

Pada mulanya aku tidak mengerti mengapa harus jauh-jauh ke Tenggarong yang nota bene 3 jam perjalanan dari Balikpapan hanya untuk melihat jembatan. Apalagi hari sudah gelap dan badanku sudah terasa lengket dan penat karena sedari pagi belum beristirahat dan mandi plus pangkal leher dan kepalaku yang luar biasa sakit karena terbentur pada saat mobil melintasi gundukan tanah di Bukit Bengkirai (bahkan sampai aku menulis blog ini, kepalaku masih terasa sakit karena kerasnya benturan saat itu).


Ternyata Jembatan Tenggarong tampak megah! Cantik sekali dengan hiasan lampu di sepanjang konstruksi jembatan. Daerah di tepi sungai oleh penduduk dijadikan tempat kongkow yang mengasyikan. Jajaran penjaja kaki lima semakin menambah semarak suasana. Aku menikmati semangkuk mie ayam dan segelas teh hangat plus kemegahan jembatan Tenggarong. Suer, mantap!

Dari Jembatan Tenggarong, kami bertolak kembali ke Samarinda mengingat keesokan hari rute perjalanan kami adalah ke Pampang.

Kami bermalam di Hotel Andhika yang terletak di Jalan KH Agus Salim 37 Samarinda, telp. (0541) 742358 dengan rate Rp 210.000/malam (Deluxe Twin Sharing - AC/TV/Hot Water/Breakfast).

15 Mei 2011

Sebenarnya jadwal kunjungan untuk hari itu adalah Kebun Raya Unmul Samarinda, Air Terjun Tanah Merah dan Kampung Dayak Kenyah di Pampang karena terletak pada satu jalur yang sama. Namun karena banyak pertimbangan, akhirnya kami langsung meluncur ke Pampang.

Dayak Kenyah di Pampang

Salah satu daya tarik yang memikatku untuk menginjakkan kaki di Borneo adalah memasuki kawasan perkampungan Dayak Kenyah di Pampang. Pampang terletak 1 jam perjalanan dari Samarinda.

Di Pampang inilah bisa ditemui wanita suku dayak bertelinga panjang. Untuk mengetahui usia dari wanita bertelinga panjang ini, bisa dihitung dari jumlah anting-anting yang menghiasi telinga kanan dan kirinya. Anting-anting ini hanya ditambahkan 1x setiap tahunnya.

Kampung adat Dayak Kenyah hanya dibuka untuk umum pada hari Minggu siang (pukul 14.00 - 15.00). Wisatawan yang datang ke kampung adat ini akan disuguhi tarian adat oleh para wanita Dayak yang cantik dan pria Dayak yang gagah. Tapi karena kami tiba di lokasi pada pukul 11 siang, lokasi masih sepi. Hanya tampak warga yang baru saja selesai mengikuti kebaktian di salah satu gereja. Aku sempat miris karena melihat lokasi yang tergenang banjir.

Begitu kami turun dari mobil, kami langsung disambut oleh anak-anak berbusana adat. Kami sempat berfoto bersama mereka. Mereka menawarkan jika ingin menyewa baju adat, mereka bisa menyediakan dengan biaya Rp 25.000,-

Aku kemudian bertanya pada Ipin-salah satu anak suku Dayak di mana aku bisa bertemu dengan wanita bertelinga panjang. Ipin kemudian mengantar kami ke rumah wanita bertelinga panjang yang kebetulan bersebelahan dengan rumahnya.

Untuk mengabadikan foto wanita dayak bertelinga panjang, aku harus membayar Rp 25.000/foto. Uang tersebut dibayarkan langsung kepada wanita itu. Dia juga menyewakan baju adat seharga Rp 10.000,- (ukurannya lebih kecil dan modelnya lebih sederhana jika dibandingkan dengan baju adat yang ditawarkan oleh anak-anak kecil tadi). Terlepas dari segala unsur komersil yang diterapkan di Pampang, aku rasa wajar untuk membayar sejumlah itu karena aku lihat desa tempat huni mereka termasuk desa miskin dan kumuh...toh mereka hanya bisa menarik retribusi setiap minggunya, lagian kapan lagi bisa ke Pampang dan menemui wanita bertelinga panjang? Tul ga?


Special Thanks to: R. Adolf for the pictures

0 comments:

Post a Comment