Friday, May 27, 2011

Foot Note: Lintas Borneo Part 4 (Martapura)

Sebelum kembali ke Surabaya, aku tidak melewatkan kesempatan untuk sejenak singgah di Martapura. Oleh teman milisku aku diajak ke pertambangan intan yang terletak di Desa Pumpung. Istimewa sekali bisa melihat aktivitas penambangan intan dari dekat, menyaksikan langsung bagaimana sulitnya untuk memperoleh batu berharga dan alam yang rusak parah karenanya.



Suasana di Pertambangan

Begitu memasuki kawasan pertambangan aku dan teman-temanku langsung diserbu oleh para pedagang asesoris dan batuan cantik, apalagi sewaktu melihat ada bule yang ikut dalam rombongan kami.

Dari situ, kami bertolak ke Unit Usaha Penggosokan Intan yang terletak di Jalan Ahmad Yani KM 37 No. 1-2 Martapura. Di sini kami langsung disambut oleh salah seorang petugas yang kemudian mengantar kami ke sebuah ruangan tempat proses pengasahan intan berlangsung. Wah ternyata sangat rumit untuk menciptakan butir berlian yang rupawan, alat yang dipergunakan juga khusus didatangkan dari Belanda.



Oleh sang petugas kami diperbolehkan untuk mencoba mempraktekkan mengasah berlian...susah sekali karena berlian yang diasah begitu mungilnya, sedangkan proses pengasahannya harus secara bertahap untuk menghasilkan 6 model berlian yang populer di dunia (bundar, markis, pear, emerald, oval, dan hati). Di antara keenam model tersebut, model bundarlah yang paling populer.


Karena proses pembuatan yang rumit dan membutuhkan akurasi tinggi itulah, plus perolehan batu intan yang relatif sangat sulit, harga berlian bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah.

Di tempat itu kami juga diedukasi cara membedakan berlian serta batuan berharga lainnya dengan produk imitasi. Ilmu yang berharga agar kami tidak tertipu oleh pedagang yang menawarkan asesoris bebatuan berharga. Ternyata tidak mudah membedakan antara bebatuan yang memiliki warna asli dengan bebatuan yang warnana disuntik. Sering kali aku dan teman-temanku terkecoh dengan kemilau serta kecemerlangan warna bebatuan tersebut.

Waktu telah menunjukkan pukul 3 sore, kami kemudian bertolak ke Rumah Adat Banjar Bumbungan Tinggi yang terletak 30 menit dari tempat penggosokan intan. Rumah Adat ini merupakan cagar budaya yang dilindungi oleh pemerintah setempat. Di sinilah Hj. Mulia (pemilik) tinggal bersama keluarga besarnya.


Rumah Adat Banjar Bumbungan Tinggi dan Gajah Baliku


Bagian Dalam Rumah Adat Banjar Bumbungan Tinggi



Setelah puas mengabadikan rumah adat Banjar dan bercakap-cakap dengan keluarga Hj. Mulia, kami bertolak ke CBS untuk membeli oleh-oleh bagi keluarga, kerabat, dan sahabat di kota kami masing-masing.

Kain Sasirangan menjadi salah satu daya tarik. Sasirangan dibuat dengan teknik tusuk jelujur kemudian diikat tali rafia dan dicelup.

Menurut para tetua masyarakat setempat, dahulu kain Sasirangan dipergunakan untuk ikat kepala (laung) dan sabuk yang dipakai oleh kaum lelaki. Sedangkan oleh kaum wanita dipakai sebagai selendang, kerudung, atau udat (kemben). Kain ini juga sebagai pakaian wajib dalam upacara-upacara adat, bahkan juga dipergunakan pada pengobatan orang sakit lho. Tapi sekarang, kain sasirangan tidak hanya dipergunakan untuk kegiatan adat, melainkan sudah menjadi pakaian untuk kegiatan sehari-hari.

Kata “Sasirangan” berasal dari kata sirang yang berarti diikat atau dijahit dengan tangan dan ditarik benangnya. Kain sasirangan dibuat dari kain mori, polyester yang dijahit dengan cara tertentu. Kemudian dicelupkan dalam macam-macam warna yang diinginkan, sehingga menghasilkan corak warna-warni yang menarik.

Souvenir lain yang menarik adalah asesoris yang terbuat dari bebatuan cantik. Sedangkan cemilan khas Banjar yang tidak boleh dilupakan untuk oleh-oleh adalah amplang (kerupuk berbentuk bola kecil-kecil yang terbuat dari ikan tengiri atau udang).

0 comments:

Post a Comment