Wednesday, March 17, 2010

Foot Note: Makassar (Day 1)

Akhirnya ada waktu juga untuk membagi sekelumit kisah perjalananku ke Makassar 5-7 Maret 2010 yang lalu.

Aku berangkat ke Makassar dengan penerbangan paling pagi dari Surabaya (pukul 6 WIB) karena waktu traveling yang sempit, jadi harus memaximalkan seluruh waktu yang tersedia dan rela berkorban...nah, salah satu pengorbanannya adalah bangun pukul 3 subuh dan berangkat ke bandara pukul 4.30 pagi dengan sepeda motor...brrrr adem banget rasanya, mana keadaan masih sangat gelap!

Aku pertama kali menjejakkan kaki di Makassar pukul 8.30 WITA. Wah, ternyata Bandara Hasanuddin lebih bagus jika dibandingkan dengan Bandara Juanda. Wow! Letak Bandara Hasanuddin 30-45 menit dari Makassar jika ditempuh melalui jalur tol. Begitu melangkah keluar bandara, aku langsung diserbu puluhan supir taxi, baik taxi resmi bandara maupun taxi gelap yang menawarkan jasa mereka. Menyebalkan sekali, serasa di Terminal Purabaya / Bungurasih. Walau sudah kukatakan bahwa aku dijemput, mereka masih gigih menawarkan jasa. Yach, tidak bisa disalahkan karena itu adalah sumber pendapatan mereka.

Singkat cerita, akhirnya aku bertemu dengan 2 orang cabang yang ditunjuk untuk menjemputku dan mengantarku jalan-jalan. Benar-benar fasilitas istimewa dari kepala cabang Makassar...matur nuwun banget, pak! Serasa dianakemaskan :)

Oleh Bapak Fachruddin dan Ibu Ratna - orang cabang yang ditugaskan khusus untuk mengawalku, aku dibawa langsung menuju Kabupaten Maros, tepatnya ke tempat wisata air terjun Bantimurung dan Goa Batu.

KUDAPAN KHAS BUGIS
Begitu memasuki gerbang Kabupaten Maros, kami mampir sejenak di kedai Jalangkote Air Tahu untuk membeli kudapan dan air mineral untuk selama perjalanan menuju Kecamatan Bantimurung. Sebenarnya di kedai ini terdapat berbagai macam kudapan, hanya saja aku lebih suka untuk mencari kudapan khas yang tidak pernah kutemui sebelumnya. Mataku langsung tertarik pada kudapan khas Makassar: bolu kukus dan kue putu.


Bolu kukus layaknya kue mangkok di Jawa, terbuat dari tepung beras. Hanya bedanya dicampur dengan gula jawa sehingga berwarna coklat dan alasnya terbuat dari daun pandan yang dibentuk persegi.

Sedangkan kue putu...sebenarnya ada juga di Jawa, penganan yang terbuat dari tepung beras yang dikukus dalam batang bambu berukuran 5 cm, bedanya kue putu di sana tidak berisikan gula jawa dan parutan kelapa langsung dicampur dalam adonan dan dibungkus layaknya lontong dengan lembaran daun pisang. Benar-benar enak disantap kala masih hangat ^_^

Selama perjalanan ke Kecamatan Bantimurung, kami melewati masjid raya Maros yang megah di sisi kiri jalan. Semakin mendekati tempat wisata, mataku dimanjakan dengan pemandangan bukit kapur yang diselimuti pepohonan nan hijau, rumah-rumah panggung penduduk asli (dindingnya terbuat dari kayu dan atap terbuat dari seng...sedikit berbeda dengan rumah panggung di Sumatera walau sama-sama bagian bawah rumah dipergunakan untuk kandang ternak atau gudang penyimpanan, tapi tinggi dinding rumah panggung di sana hanya kisaran 2 meter saja).


AIR TERJUN BANTIMURUNG
Akhirnya tiba juga di tempat wisata air terjun Bantimurung. Aku beruntung karena mengunjungi tempat ini pada saat hari biasa sehingga tidak ramai pengunjung. Berdasarkan info dari Ibu Ratna, pada masa libur atau akhir pekan tempat ini sangat ramai sehingga sulit mendapatkan tempat parkir dan harus berjalan jauh untuk memasuki gerbang.

Setelah puas menjelajahi museum kupu-kupu, berbasah-basah di air terjun, dan menyusuri Goa Batu, kami bertiga kembali bertolak menuju Makassar untuk memenuhi undangan kepala cabang Makassar makan siang bersama.

Artikel lebih detail mengenai air terjun Bantimurung bisa dibaca di: http://mycoratcoretz.blogspot.com/2010/03/foot-note-bantimurung.html

BENTENG (FORT) ROTTERDAM
Setelah makan siang, aku diajak menuju Benteng (Fort) Rotterdam. Tiket masuk yang dikenakan Rp 3.000/orang dewasa, oleh penjaga stand tiket, kami ditawari jasa guide selama berkeliling benteng, tapi kami menolaknya.

Di dalam benteng ini terdapat museum di sisi kiri dan kanan gerbang museum. Museum yang terletak di sisi kiri berisikan benda-benda pra sejarah manusia purba, material bangunan museum, mata uang kuno, dan keramik-keramik cina kuno (guci, piring) yang cantik. Sedangkan museum yang terletak di sisi kanan berisikan kehidupan bahari di Sulawesi Selatan, mulai dari miniatur kapal pinisi, alat penangkap ikan, senjata tradisional, dll. Pada bagian tengah benteng terdapat bangunan gereja. Oh ya, pada sisi kiri gerbang benteng, terdapat ruang-ruang tahanan yang sudah dialihfungsikan menjadi kantin dadakan...sayang sekali karena seharusnya bisa menjadi spot yang menarik.

TRANS STUDIO THEME PARK
Puas menjelajahi benteng selama 45 menit, kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju ikon baru kota Makassar: Trans Studio Theme Park. Sungguh, tempat ini membuatku penasaran setengah mati karena konon merupakan wahana permainan indoor terbesar seAsia. Gambaran yang ada di dalam kepalaku seperti wahana indoor di Genting Highlands - Malaysia. Studio ini terletak 3 menit dari Pantai Losari (Jalan HM Dg Ptompo - Metro Tanjung Bunga).

Tiket masuk ke Trans Studio sebesar Rp 100.000/orang. Harga tersebut untuk kartu studio pass yang dapat diisi ulang (berlaku seumur hidup) dan enterance untuk 15 pilihan wahana permainan dari puluhan wahana yang ada. Sekali lagi aku beruntung...seharusnya ada beberapa wahana yang masih dikenakan charge tambahan Rp 25.000/orang/wahana (Bioskop 4D, Magic Thunder Coaster, Dragon's Tower, Jelajah, dan Dunia Lain), tapi entah kenapa pada saat itu aku dapat bermain dalam wahana-wahana tersebut gratis!!! Asyik aja kalau begini :D

Di Trans Studio tidak diperbolehkan untuk membawa makanan dan minuman dari luar, binatang peliharaan, dan tidak diperkenankan juga untuk merokok. Pengawasan cukup ketat karena pada pintu masuk terdapat beberapa petugas yang akan memeriksa tas bawaan pengunjung.

Setiap akhir pekan, Studio ini biasanya banjir artis ibukota. Sewaktu di sana kebetulan ada Olla (OKB).

Secara pribadi, aku kecewa berkunjung ke Trans Studio karena wahana yang ada sebagian besar diperuntukkan untuk anak-anak berusia 5-15 tahun. Sedangkan wahana yang bisa dinikmati oleh orang dewasa jumlahnya sangat terbatas (hanya sekitar 5 wahana saja dan masih dikenakan charge tambahan di luar harga tiket masuk). Menurutku Dufan-Jakarta jauh lebih menarik, walaupun tidak dipungkiri di Trans Studio suasana lebih nyaman karena tidak terkena terik matahari.

PANTAI LOSARI
Tak terasa 2 jam aku asyik bermain di Trans Studio. Hari sudah sore ketika kami keluar dari Trans Studio, kami langsung meluncur ke Pantai Losari. Pantai ini adalah pantai hasil urug. Terdapat rentangan sepanjang 1 KM, tempat sempurna untuk menyaksikan sunrise dan sunset...bagus sekali! Tidak mengherankan kalau ada yang mengatakan di tempat ini terdapat sunrise dan sunset terindah sedunia. Bangganya jadi orang Indonesia!

0 comments:

Post a Comment