Thursday, March 18, 2010

Cak Son

Entah kenapa, dibandingkan beberapa tukang tambal ban yang aku kenal, aku sangat menyukai Cak Son. Usianya sudah berkisar 40 tahun lebih, rambut di kepalanya sudah mulai menipis, namun badannya masih tegap dan sigap. Jujur, aku memiliki insting yang lumayan kuat mengenai penilaian terhadap seseorang dan aku bersyukur karena instingku sering kali benar, sehingga aku terhindar dari berkenalan dengan orang-orang usil di dunia maya.
Dua hari yang lalu seperti biasa, aku singgah sejenak di tambal ban milik Cak Son. Aku suka singgah di sana untuk mereguk segarnya sebotol minuman dingin atau hanya sekedar untuk menyapa Cak Son beserta istri dan anaknya yang terkadang menemani. Saat itu, aku kembali meneguk sebotol minuman dingin di hari yang terik. Ahhhh....segar sekali rasanya! Segera setelah aku menghabiskan cairan minuman dingin itu, aku merogoh saku celana panjangku dan memberikan beberapa lembar uang seribuan yang sudah terlipat kepada Cak Son kemudian melaju menuju kantor.

Sore hari selepas jam kantor, aku kembali ke area Cak Son biasa mangkal. Kali ini aku tidak singgah ke tempatnya, melainkan menemui seseorang. Aku menghabiskan waktu beberapa menit membahas suatu pekerjaan dan berakhir dengan pembicaraan yang tidak penting. Melihat itu, Cak Son langsung datang menghampiriku. Aku tersenyum menyambutnya. Tiba-tiba Cak Son menyodorkan beberapa lembar uang ribuan kepadaku.

"Uang apa ya, pak?" tanyaku pada Cak Son.
"Oh ini...uang mbak kebanyakan tadi pagi," sahutnya.
"Ah, masa sih?"
"Iya, mbak, bener...kan mbak tadi ngasi duit yang dah dilipat, eh...ga taunya di dalam lipatan itu ada duit 5 ribuannya, jadi kebanyakan bayarnya, mbak...nanti saya cepet kaya dong kalo gini hehehehe."

Aku terpana memandang Cak Son. Mungkin beberapa ribu rupiah bukan nilai yang besar, tapi kejujuran Cak Son membuatku semakin menyukainya. Bisa saja dia tidak mengaku mengenai kelebihan uang yang aku berikan padanya, aku toh tidak menyadari akan hal itu sebelumnya sampai akhirnya dia datang dan memberikanku uang kembalian.

Aku kagum pada Cak Son dan prinsip hidupnya. Walaupun pendapatannya sebagai tukang tambal ban terbatas, pantang baginya untuk berlaku tidak jujur demi mengeruk keuntungan lebih seperti yang dilakukan oleh beberapa tukang tambal ban lainnya (menyebar paku di jalan sehingga banyak yang mengalami ban bocor).

Cak Son pernah berkata padaku, kalau Tuhan akan pelihara dia beserta keluarganya dengan cara Tuhan sendiri...kalau dilihat dari penghasilannya, tidak mungkin dia bisa menyekolahkan anak-anaknya ke bangku sekolah tingkat tinggi, tapi hal itu mampu dilakukan.
"Semua ini dari Tuhan, mbak...saya ya cuman tukang tambal ban."

Terima kasih, Tuhan, Engkau mengijinkanku untuk belajar dan melihat kasih pemeliharaanMU.

0 comments:

Post a Comment