Friday, May 27, 2011

Foot Note: Lintas Borneo Part 4 (Martapura)

Sebelum kembali ke Surabaya, aku tidak melewatkan kesempatan untuk sejenak singgah di Martapura. Oleh teman milisku aku diajak ke pertambangan intan yang terletak di Desa Pumpung. Istimewa sekali bisa melihat aktivitas penambangan intan dari dekat, menyaksikan langsung bagaimana sulitnya untuk memperoleh batu berharga dan alam yang rusak parah karenanya.



Suasana di Pertambangan

Begitu memasuki kawasan pertambangan aku dan teman-temanku langsung diserbu oleh para pedagang asesoris dan batuan cantik, apalagi sewaktu melihat ada bule yang ikut dalam rombongan kami.

Dari situ, kami bertolak ke Unit Usaha Penggosokan Intan yang terletak di Jalan Ahmad Yani KM 37 No. 1-2 Martapura. Di sini kami langsung disambut oleh salah seorang petugas yang kemudian mengantar kami ke sebuah ruangan tempat proses pengasahan intan berlangsung. Wah ternyata sangat rumit untuk menciptakan butir berlian yang rupawan, alat yang dipergunakan juga khusus didatangkan dari Belanda.



Oleh sang petugas kami diperbolehkan untuk mencoba mempraktekkan mengasah berlian...susah sekali karena berlian yang diasah begitu mungilnya, sedangkan proses pengasahannya harus secara bertahap untuk menghasilkan 6 model berlian yang populer di dunia (bundar, markis, pear, emerald, oval, dan hati). Di antara keenam model tersebut, model bundarlah yang paling populer.


Karena proses pembuatan yang rumit dan membutuhkan akurasi tinggi itulah, plus perolehan batu intan yang relatif sangat sulit, harga berlian bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah.

Di tempat itu kami juga diedukasi cara membedakan berlian serta batuan berharga lainnya dengan produk imitasi. Ilmu yang berharga agar kami tidak tertipu oleh pedagang yang menawarkan asesoris bebatuan berharga. Ternyata tidak mudah membedakan antara bebatuan yang memiliki warna asli dengan bebatuan yang warnana disuntik. Sering kali aku dan teman-temanku terkecoh dengan kemilau serta kecemerlangan warna bebatuan tersebut.

Waktu telah menunjukkan pukul 3 sore, kami kemudian bertolak ke Rumah Adat Banjar Bumbungan Tinggi yang terletak 30 menit dari tempat penggosokan intan. Rumah Adat ini merupakan cagar budaya yang dilindungi oleh pemerintah setempat. Di sinilah Hj. Mulia (pemilik) tinggal bersama keluarga besarnya.


Rumah Adat Banjar Bumbungan Tinggi dan Gajah Baliku


Bagian Dalam Rumah Adat Banjar Bumbungan Tinggi



Setelah puas mengabadikan rumah adat Banjar dan bercakap-cakap dengan keluarga Hj. Mulia, kami bertolak ke CBS untuk membeli oleh-oleh bagi keluarga, kerabat, dan sahabat di kota kami masing-masing.

Kain Sasirangan menjadi salah satu daya tarik. Sasirangan dibuat dengan teknik tusuk jelujur kemudian diikat tali rafia dan dicelup.

Menurut para tetua masyarakat setempat, dahulu kain Sasirangan dipergunakan untuk ikat kepala (laung) dan sabuk yang dipakai oleh kaum lelaki. Sedangkan oleh kaum wanita dipakai sebagai selendang, kerudung, atau udat (kemben). Kain ini juga sebagai pakaian wajib dalam upacara-upacara adat, bahkan juga dipergunakan pada pengobatan orang sakit lho. Tapi sekarang, kain sasirangan tidak hanya dipergunakan untuk kegiatan adat, melainkan sudah menjadi pakaian untuk kegiatan sehari-hari.

Kata “Sasirangan” berasal dari kata sirang yang berarti diikat atau dijahit dengan tangan dan ditarik benangnya. Kain sasirangan dibuat dari kain mori, polyester yang dijahit dengan cara tertentu. Kemudian dicelupkan dalam macam-macam warna yang diinginkan, sehingga menghasilkan corak warna-warni yang menarik.

Souvenir lain yang menarik adalah asesoris yang terbuat dari bebatuan cantik. Sedangkan cemilan khas Banjar yang tidak boleh dilupakan untuk oleh-oleh adalah amplang (kerupuk berbentuk bola kecil-kecil yang terbuat dari ikan tengiri atau udang).

Foot Note: Lintas Borneo Part 3 (Pasar Terapung Lok Baintan - Banjarmasin)

Arrrgghhh....akhirnya sampai juga di kota 1000 sungai - Banjarmasin! Kataku dalam hati sambil meregangkan tubuhku. Waktu telah menunjukkan pukul 20.00 Wita pada saat aku melintasi gerbang kota Banjarmasin yang megah. Badanku terasa sangat penat karena aktivitas bamboo rafting di Sungai Amandit pagi itu dan setelah itu harus menempuh jalan darat yang lumayan lama dari Loksado menuju Banjarmasin (5 jam perjalanan). Keadaan semakin diperburuk karena mobil Avansa yang kami sewa diisi 6 personil + 1 driver! Maklum kaum budget travelers ^_^


Setelah bersantap malam di Lontong Orari yang terkenal, aku bersama 4 orang temanku meluncur ke hotel yang telah direservasi seminggu sebelumnya. Namun sewaktu kami memasuki lobby, aroma rokok langsung menyeruak dan seorang gadis dengan dandanan menor plus berbaju minim dan ketat tampak menunggu di lobby...yach, bisa diambil kesimpulan sendirilah hotel macam apa itu. Kami kemudian memutuskan untuk mencari alternatif hotel lain yang berada di kawasan itu.


Untunglah kami menemukan Hotel Mira yang berlokasi di Jalan Letjen MT Haryono 41 RT 011 Banjarmasin, telepon (0511) 3363955. Hotel ini terletak tengah kota dan biaya inap yang relatif murah untuk semi backpacker traveler seperti aku, yaitu Rp 205.000/malam (deluxe twin sharing). Selain itu Mira Hotel letaknya berdekatan dengan Pantai Jodoh - dermaga tempat perahu-perahu klotok bersandar. Sebenarnya Pantai Jodoh bukanlah pantai melainkan tepian sungai, dinamai demikian karena pada saat senja hari banyak pasangan muda mudi yang duduk di tepian sungai. Untuk mencapai dermaga, hanya perlu berjalan kaki selama 10 menit melewati masjid terbesar di Banjarmasin di kala subuh.


Tujuan utama ke Banjarmasin tentu saja untuk mengunjungi Pasar Terapung Lok Baintan. Sebenarnya di Banjarmasin terdapat 2 pasar terapung, yaitu: Muara Kuin dan Lok Baintan. Aku sengaja memilih Lok Baintan karena ketradisionalannya yang masih kental, walaupun sebenarnya pasar terapung Muara Kuin lebih dekat.


Pasar Terapung Lok Baintan terletak di Desa Sungai Pinang (Lok Baintan), Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar. Pasar ini mulai beroperasi sejak pukul 6 pagi hingga 8 pagi. Perjalanan menuju Lokbaintan dari Banjarmasin dengan perahu klotok memakan waktu kurang lebih 1 jam.



Aku memutuskan untuk berangkat dari penginapan pukul 5 pagi. Walaupun waktu masih subuh, tapi ternyata udara kota Banjarmasin sama sekali tidak sejuk seperti yang aku perkirakan sebelumnya, malah cenderung hangat....mungkin karena letaknya yang dekat garis khatulistiwa.



Menikmati sunrise di atas atap perahu kelotok



Melalui referensi seorang teman milis yang menempuh studi di Banjarmasin, aku menyewa perahu klotok Pak Imus seharga Rp 175.000,- untuk rute Banjarmasin - Lok Baintan PP. Tarif pada umumnya adalah Rp 200.000 - Rp 250.000, namun karena teman milisku sering memakai jasa pak Imus, kami mendapatkan harga khusus. Lumayanlah bisa dipakai untuk menikmati sepiring soto banjar yang terkenal itu. Pak Imus bisa dikontak di nomor 0852-49418171.

Untuk orang yang terbiasa dengan kehidupan masyarakat perkotaan dengan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, pemandangan selama menyusuri sungai sangat memukauku. Kondisi pada saat aku berangkat masih gelap gulita, di tengah perjalanan matahari mulai menyingsing memberi warna kuning kemerahan di langit. Kilaunya sangat cantik terpantul di air sungai. Pemandangan yang sangat sayang untuk tidak diabadikan dengan kamera. Sunrise yang sempurna!

Pemandangan lain yang tak luput dari pandangan adalah sekelompok besar burung terbang kemali ke sarang mereka, langit seperti dipenuhi titik-titik yang berbentuk segitiga dan kebiasaan warga pesisir sungai menjalani aktivitas pagi mereka. Jujur, sampai malu sendiri melihat mereka mandi di atas panggung rumah kayu mereka dengan hanya berbalut kain atau pakaian dalam saja, padahal yang dilihat cuek-cuek saja. Bahkan tak jarang yang melambaikan tangan tanda ucapan selamat datang.


Suasana di Pasar Terapung Lok Baintan




Di Lok Baintan transaksi barter masih sah, lho, tapi seandainya memang tidak ada barang untuk dipertukarkan, bisa juga bertransaksi dengan menggunakan uang.


Mie Merah disajikan dengan Saos Sambal


Kue Getuk


Menikmati sarapan kue tradisional di atas kapal klotok merupakan pengalaman yang mengasyikkan. Semilir angin pagi yang menyejukkan plus ayunan badan perahu karena aliran air merupakan kombinasi yang langka. Sungguh, Indonesia itu unik dan cantik!

Thursday, May 26, 2011

Foot Note: Lintas Borneo Part 2 (Loksado)

Pesawat Sriwijaya yang aku tumpangi dari Balikpapan mendarat mulus di Bandara Udara Syamsuddin Noor Banjarbaru tepat seperti estimasi waktu tiba, yaitu pukul 18.30 Wib. Mobil+driver yang aku sewa beserta seorang teman milis yang menempuh studi di Banjarmasin sudah menanti di bandara dan kamipun langsung bertolak menuju Loksado yang berjarak 4 jam perjalanan dari Banjarbaru tanpa makan malam.



Depot Ketupat Kandangan



Dalam perjalanan, kami singgah di ibukota kabupaten Kandangan untuk menyantap lezatnya Ketupat Kandangan yang terkenal itu. Enyak...enyak....enyak! Tidak salah teman-teman milis merekomendasikan menu yang istimewa ini. Setelah kenyang, kamipun melanjutkan perjalanan menuju Loksado.


Aku bersama-sama teman dari Jakarta dan Surabaya bermalam di Wisma Loksado (telp. 081-348515830 / 0852-51544398) untuk melepas lelah setelah menjelajahi Pampang dan menempuh jalur darat yang lumayan panjang dari Pampang menuju Balikpapan. Harga sewa kamar di Wisma Loksado adalah sebesar Rp 220.000/malam (twin sharing, excld. breakfast), sedangkan untuk extra bed dikenakan charge sebesar Rp 75.000. Perlu diingat bahwa sistem sewa kamar di Loksado tidak bisa dilakukan jauh-jauh hari (> 30 hari sebelum hari H). Pemesanan kamar bisa dilakukan max. 2 minggu sebelum hari H.



Bagian dalam kamar Wisma Loksado (kamar mandi dalam, tanpa AC dan tanpa TV)


Wisma Loksado terletak di tepi sungai Amandit, untuk ke Wisma Loksado harus menyebrangi jembatan gantung yang bergoyang-goyang pada saat ada yang berjalan di atasnya. Sayup-sayup terdengar gemericik air sungai yang mengalir dari kamarku. Suasana yang nyaman dan alami ini mengantarku ke alam mimpi, mengistirahatkan tubuhku untuk kegiatan seru di keesokan hari.



Bamboo Rafting di Sungai Amandit - Loksado


Ini dia kegiatan paling mengasikkan!

Bukan sembarang rafting. Jika pada umumnya arung jeram menggunakan perahu karet, dayung, baju pelampung, dan helm, Bamboo rafting mematahkan semua itu. Aku hanya menggunakan rakit yang terbuat dari belasan batang bambu yang diikat menjadi satu dengan menggunakan kulit bambu muda, tanpa dayung tapi batang bambu. Istimewanya lagi satu rakit bambu ini hanya boleh dinaiki oleh max. 3 orang dan 1 orang joki. Perjalanan yang seru sekali!


Berpose sebelum menikmati serunya riam-riam liar Sungai Amandit


Awal mula terciptanya bamboo rafting adalah aktivitas para petani bambu yang mengirimkan hasil bambunya ke kota Kandangan dengan cara menghanyutkan batang-batang bambu di Sungai Amandit. Ada 2 rute bamboo rafting, yaitu: rute panjang (2 hari) dan rute pendek (2,5-3 jam). Tentu saja aku memilih rute pendek, tidak terbayang capeknya jika aku mengambil rute panjang selama 2 hari. Bisa remuk badanku!


Setelah menempuh setengah rute, sang joki menepikan rakit dan mempersilahkan aku bersama teman-teman berenang di sungai yang mengalir tenang. Wah, tidak perlu dikomando, langsung menceburkan diri ke sungai Amandit yang menyegarkan. Berenang, bermain air, menikmati pemandangan alam dan berpose narsis. Bukan main asyiknya!


Asyiknya berenang dan main air di Sungai Amandit


Keberuntungan bagiku karena di rakit yang kutumpangi melewati pohon jambu air yang sedang berbuah lebat, keberuntungan lain adalah sang joki yang memiliki mata yang tajam dan keahlian menggunakan buluh bambunya untuk memetik buah jambu. Jadilah aku bersama teman-temanku menikmati buah jambu di atas sungai Amandit. Asli mantap!

Untuk menikmati bamboo rafting dikenakan biaya Rp 250.000/rakit. Hal yang sangat sepadan dengan serunya adrenalin berpacu pada saat melewati jeram-jeram liar. Rakit yang begitu mungil dan tanpa pengaman samping, tanpa helm, tanpa jaket pelampung bertarung dengan derasnya jeram-jeram sungai Amandit yang jernih dan dingin. Benar-benar seru! Highly recommended!


Air Terjun Haratai - Loksado


Untuk mencapai lokasi Air Terjun Haratai yang jaraknya 8 Km dari Wisma Loksado, harus menyewa ojek sebesar Rp 50.000 (pp). Supir ojeknya harus yang berpengalaman karena jalur menuju Air Terjun Haratai layaknya arena off road. Gokil abis!


Air Terjun Haratai berwarna kehijauan. Salah satu kecantikan alam yang masih tersembunyi. Airnya berwarna hijau jernih dan sangat dingin. Benar-benar menggoda.


Sayangnya aku tidak bisa berlama-lama di Loksado karena selepas makan siang aku harus turun ke Banjarmasin. Aku harus mengikuti jadwal padat yang aku buat sendiri agar tidak ada spot yang terlewatkan.


Indonesia itu sungguh cantik!!!

Wednesday, May 18, 2011

Icip - Icip Kuliner Khas Borneo



Ketupat Kandangan


Ini adalah menu khas pertama yang aku icipi di bumi Borneo. Menu yang hanya dapat ditemui di Kabupaten Kandangan (Kalimantan Selatan) ini berupa ketupat yang disajikan dengan kuah santan yang terasa manis di lidah....hampir mendekati rasa kuah opor ayam. Sebagai pelengkap, ketupat kandangan disajikan dengan pilihan ikan haruan / ikan gabus atau telur ayam rebus yang diberi kuah santan.


Lontong Orari


Umumnya bentuk lontong adalah seperti tabung yang dibungkus dengan lembaran daun pisang, namun di sini lontong dibentuk seperti segitiga pipih. 1 porsi Lontong Orari = 2 buah lontong + opor nangka muda + 1 butir telur rebus + 1 ekor ikan haruan goreng bumbu habang. Benar-benar porsi jumbo! Mantap nih untuk yang ingin menaikkan berat badan seperti aku.


Soto Banjar




Nah kalau yang ini sudah familiar di Surabaya. Hanya saja yang berbeda adalah suasana tempat menyantap Soto Banjar. Soto Banjar kali itu aku santap di atas rumah makan apung di Sungai Martapura sepulang perjalananku dari Pasar Terapung Lokbaintan. Selain menu Soto Banjar, di tempat itu juga menyajikan Sate ayam yang luar biasa enaknya! Menurutku pribadi, malah lebih enak satenya dibanding Soto Banjar yang adalah menu utama di tempat itu.

Foot Note: Lintas Borneo Part 1 (Balikpapan - Samarinda - Pampang)

Aku selalu bersemangat untuk menjelajahi tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya, khususnya untuk tempat yang belum semodern Jepang, Singapura, Hong Kong dll. Entah kenapa aku kurang bersemangat untuk bertamasya ke luar negeri akhir-akhir ini walau banyak promo tiket ke luar negeri yang sangat terjangkau. Aku sedang terpesona dengan keindahan alam Indonesia dan budayanya yang unik. Untuk apa aku buang-buang uang di negeri orang, sementara negeri sendiri belum semua kujelajahi? Oleh karena itu, aku berniatan untuk minimal menjelajahi pulau-pulau besar di Indonesia.

Dan salah satu wujud niatan itu terwujud: lintas Borneo!

14 Mei 2011


Karena tidak ingin membuang waktu jelajah, aku selalu mengambil penerbangan paling pagi untuk ke suatu tempat baru. Pesawat yang aku tumpangi mendarat mulus di Balikpapan pukul 9 pagi sesuai jadwal. Terik matahari langsung menyambutku sewaktu aku melangkah turun dari pesawat. Ternyata di Balikpapan jauh lebih panas dibanding di Surabaya. Dalam hati aku bersyukur untuk cuaca yang cerah kala itu karena jika hujan, maka aku tidak bisa bebas menikmati alam Borneo.





Di Bandara Sepinggan telah menanti 4 orang teman milis dari Jakarta. Kami semua akan menjelajahi Borneo bersama. Seorang teman milis yang bekerja di Balikpapan datang menjemput kami di bandara. Walau kami belum pernah bertemu satu sama lain (aku hanya pernah bertemu 2x dengan salah satu dari mereka), namun karena kami memiliki ketertarikan yang sama, maka dalam waktu singkat kami menjadi akrab satu sama lain.


Mahavihara Buddhamanggala - Balikpapan


Ini adalah spot pertama yang kami kunjungi. Vihara yang diresmikan oleh Menteri Agama pada 2008 ini berdiri dengan agung dan megah. Warna stupanya yang putih bersih seakan membelah langit biru. Untuk memasuki kawasan vihara, pengunjung diharuskan untuk melepas alas kaki.

Berdasarkan pengamatanku- entah benar atau tidak karena tidak ada guide di tempat itu - kawasan Mahavihara Buddhamanggala terbagi menjadi 3 bagian: Ruang Doa 1 yang di dalamnya terdapat patung Sleeping Buddha raksasa berwarna keemasan.


Pengunjung diperbolehkan untuk berpose di depan patung Sleeping Buddha, namun tidak diperbolehkan bila meniru pose Sleeping Buddha.

Ruang Doa 2 terletak di bagian kanan. Dulunya ruangan itu adalah ruang doa utama, namun sekarang telah dialihkan ke Ruang Doa 1 yang lebih lapang. Dalam ruang doa 2 terdapat Patung Buddha Duduk berwarna keemasan.


Dan bagian terakhir adalah bangunan stupa yang berada di antara kedua ruang doa. Di dalam bangunan ini terdapat stupa dan genta berwarna keemasan dan banyak sekali patung Buddha mini yang diatur dalam kotak-kotak yang menempel di dinding.

PPKLH Beruang Madu - Balikpapan

Mobil yang kami tumpangi meluncur menyusuri Jalan Poros Samarinda yang membelah hutan homogen di kiri kanan jalan. Sesekali terdapat komplek perumahan penduduk. Kami berhenti di KM 23 di mana terdapat PPKLH Beruang Madu yang terletak sisi kanan jalan. Dari jalan utama ke komplek PPKLH kira-kira menempuh jarak 1 km.
Di kawasan ini terdapat Rumah Lamin yang secara keseluruhan konstruksinya dibuat dari kayu. Suasana yang terik langsung lenyap pada saat aku melangkahkan kaki masuk ke dalam Rumah Lamin. Langit-langit rumah yang tinggi dan bukaan yang banyak menciptakan suasana sejuk. Tapi bukan itu daya tarik kawasan ini, melainkan konservasi beruang madu yang merupakan ikon kota Balikpapan.

Oleh guide, kami diajak menyusuri jembatan kayu yang menuju tempat pemberian makan beruang madu. Beruntung bagi kami karena walau bukan jam makan beruang madu, kami sempat menyaksikan kemunculan mereka. Ternyata beruang madu termasuk fauna pemalu.

Oleh guide kami dilarang berisik agar mereka tidak takut untuk muncul. Kami juga dilarang untuk memanggil nama mereka karena ditakutkan mereka tidak dapat mengenali suara petugas pemberi makan.

Tidak dikenakan tiket masuk untuk pengunjung yang mendatangi tempat ini, namun disediakan kotak retribusi. Dana yang terkumpul akan dipergunakan untuk maintenance kawasan konservasi ini.


Bukit Bangkirai & Canopy Bridge - Samarinda

Bukit Bangkirai dikelola oleh PT Inhutani I Unit I Balikpapan, untuk memasuki kawasan ini dikenakan tiket masuk sebesar Rp 19.000/7 orang. Suasana di sini benar-benar teduh karena begitu banyaknya pepohonan raksasa yang menjulang tinggi layaknya gedung pencakar langit. Sungguh pemandangan yang menyejukkan mata yang telah lelah dan bosan dengan pemandangan kota metropolitan.

Perjalanan dari Balikpapan ke Bukit Bengkirai adalah + 2 jam. Untuk mencapai lokasi Bukit Bengkirai dari Balikpapan, bisa dengan menggunakan sepeda motor atau mobil yang tinggi (sebangsa jeep) karena medan dilewati merupakan kombinasi jalan yang terbuat dari tanah dan aspal yang bergelombang, berlubang, dan berliku...benar-benar medan perjalanan yang berat. Kepalaku sempat terbentur sangat keras karena sang pengemudi melaju kencang seraya melintasi gundukan tanah.


Ada daya tarik lain di Bukit Bangkirai yang menyeretku ke sini, yaitu Jembatan Tajuk (Canopy Bridge) yang berjarak 500 meter dari pintu masuk. Melewati jalan setapak di tengah hutan lindung...serasa Lara Croft nih. Aku takjub dengan pepohonan yang tumbuh di sana, diameternya mencapai tinggi badanku! Kelihatannya seru kalau bermain petak umpet di sini ^_^

Jembatan Tajuk terbuat dari kabel dengan dasar papan kayu dan dinding kanan kiri dari jala tali nilon ini terbentang sepanjang 64 meter di ketinggian 30 meter di atas permukaan tanah (menghubungkan 5 batang pohon Bangkirai hidup).

Untuk bisa menaiki canopy bridge, aku harus naik menara dengan tangga berputar yang memiliki 139 anak tangga dan membayar tiket entry sebesar IDR 15.000 (wisatawan domestik) atau IDR 30.000 (wisatawan mancanegara).


Ada beberapa peraturan yang harus dipatuhi pengunjung atas nama keselamatan. Pengunjung hanya boleh menaiki jembatan ini jika cuaca cerah (tidak sedang hujan dan berangin untuk mencegah agar tidak tersambar petir). Pengunjung juga tidak boleh berlari atau melompat di atas jembatan....boro-boro lari, jalan aja jembatan sudah bergoyang-goyang seperti berjalan di atas kasur air!


Tangga yang harus dinaiki untuk menuju Canopy Bridge


Lebar Canopy Bridge yang hanya selebar 1 orang dewasa

View dari atas Canopy Bridge


Jembatan tajuk ini merupakan jembatan tajuk pertama di Indonesia, ke-2 di Asia, dan ke-8 di dunia.


Jembatan Tenggarong

Pada mulanya aku tidak mengerti mengapa harus jauh-jauh ke Tenggarong yang nota bene 3 jam perjalanan dari Balikpapan hanya untuk melihat jembatan. Apalagi hari sudah gelap dan badanku sudah terasa lengket dan penat karena sedari pagi belum beristirahat dan mandi plus pangkal leher dan kepalaku yang luar biasa sakit karena terbentur pada saat mobil melintasi gundukan tanah di Bukit Bengkirai (bahkan sampai aku menulis blog ini, kepalaku masih terasa sakit karena kerasnya benturan saat itu).


Ternyata Jembatan Tenggarong tampak megah! Cantik sekali dengan hiasan lampu di sepanjang konstruksi jembatan. Daerah di tepi sungai oleh penduduk dijadikan tempat kongkow yang mengasyikan. Jajaran penjaja kaki lima semakin menambah semarak suasana. Aku menikmati semangkuk mie ayam dan segelas teh hangat plus kemegahan jembatan Tenggarong. Suer, mantap!

Dari Jembatan Tenggarong, kami bertolak kembali ke Samarinda mengingat keesokan hari rute perjalanan kami adalah ke Pampang.

Kami bermalam di Hotel Andhika yang terletak di Jalan KH Agus Salim 37 Samarinda, telp. (0541) 742358 dengan rate Rp 210.000/malam (Deluxe Twin Sharing - AC/TV/Hot Water/Breakfast).

15 Mei 2011

Sebenarnya jadwal kunjungan untuk hari itu adalah Kebun Raya Unmul Samarinda, Air Terjun Tanah Merah dan Kampung Dayak Kenyah di Pampang karena terletak pada satu jalur yang sama. Namun karena banyak pertimbangan, akhirnya kami langsung meluncur ke Pampang.

Dayak Kenyah di Pampang

Salah satu daya tarik yang memikatku untuk menginjakkan kaki di Borneo adalah memasuki kawasan perkampungan Dayak Kenyah di Pampang. Pampang terletak 1 jam perjalanan dari Samarinda.

Di Pampang inilah bisa ditemui wanita suku dayak bertelinga panjang. Untuk mengetahui usia dari wanita bertelinga panjang ini, bisa dihitung dari jumlah anting-anting yang menghiasi telinga kanan dan kirinya. Anting-anting ini hanya ditambahkan 1x setiap tahunnya.

Kampung adat Dayak Kenyah hanya dibuka untuk umum pada hari Minggu siang (pukul 14.00 - 15.00). Wisatawan yang datang ke kampung adat ini akan disuguhi tarian adat oleh para wanita Dayak yang cantik dan pria Dayak yang gagah. Tapi karena kami tiba di lokasi pada pukul 11 siang, lokasi masih sepi. Hanya tampak warga yang baru saja selesai mengikuti kebaktian di salah satu gereja. Aku sempat miris karena melihat lokasi yang tergenang banjir.

Begitu kami turun dari mobil, kami langsung disambut oleh anak-anak berbusana adat. Kami sempat berfoto bersama mereka. Mereka menawarkan jika ingin menyewa baju adat, mereka bisa menyediakan dengan biaya Rp 25.000,-

Aku kemudian bertanya pada Ipin-salah satu anak suku Dayak di mana aku bisa bertemu dengan wanita bertelinga panjang. Ipin kemudian mengantar kami ke rumah wanita bertelinga panjang yang kebetulan bersebelahan dengan rumahnya.

Untuk mengabadikan foto wanita dayak bertelinga panjang, aku harus membayar Rp 25.000/foto. Uang tersebut dibayarkan langsung kepada wanita itu. Dia juga menyewakan baju adat seharga Rp 10.000,- (ukurannya lebih kecil dan modelnya lebih sederhana jika dibandingkan dengan baju adat yang ditawarkan oleh anak-anak kecil tadi). Terlepas dari segala unsur komersil yang diterapkan di Pampang, aku rasa wajar untuk membayar sejumlah itu karena aku lihat desa tempat huni mereka termasuk desa miskin dan kumuh...toh mereka hanya bisa menarik retribusi setiap minggunya, lagian kapan lagi bisa ke Pampang dan menemui wanita bertelinga panjang? Tul ga?


Special Thanks to: R. Adolf for the pictures