Monday, November 15, 2010

Foot Note: Pesona Danau Toba

Beruntung sekali bisa mencuri kesempatan untuk berkunjung ke Danau Toba pada saat perjalanan Dinas ke Medan awal November 2010 yang lalu.

Bis Semesta melaju dari Terminal Ampelas meninggalkan kota Medan pada pukul 07.15 Wib. Kondisi bis tanpa AC dan kursi tegak, maklumlah harga tiket bis hanya Rp 22.000. Jadi bisa dibayangkan 5 jam perjalanan yang aku tempuh menuju Parapat adalah perjalanan yang melelahkan dan membosankan karena pemandangan sepanjang perjalanan yang didominasi perumahan penduduk dan kebun kelapa sawit. Tapi itu sama sekali tidak menyurutkan semangatku untuk pergi seorang diri ke Danau Toba.

Pukul 11.30 Wib aku memasuki kawasan Danau Toba. Aku melangkah turun dari bis yang terus melaju ke arah ... bersama beberapa penumpang yang lain. Menghirup oksigen sebanyak-banyaknya sambil menatap pesona Danau Toba. Ya, Tuhan...cantik sekali! Terhapus sudah rasa penat di badanku dan kedongkolanku karena harus menghirup asap rokok selama perjalanan ke Parapat.

Karena waktu kaburku hanya sebentar, aku melangkah cepat ke tempat kapal penyebrangan. Cukup jauh rupanya. Akhirnya aku memutuskan untuk naik angkutan umum yang kebetulan melintas. Sang pengemudi mengantarku sampai ke tempat penyebrangan walau itu bukan rutenya.

Aku menaiki kapal penumpang menuju Tomok dengan merogoh kocek Rp 5.000,- Kapal yang kutumpangi melintasi Danau Toba selama kurang lebih 45 menit. Aku mengisi waktu dengan memotret keindahan danau dan membiarkan semilir angin sejuk menerpa kulitku. Aku sengaja memilih tempat duduk di bagian luar yang tak beratap. Selama perjalanan aku berkenalan dengan 3 orang turis Belanda dan lalu kami memutuskan untuk berkeliling di Tomok bersama.

Sigale-Gale

Begitu kapal bersandar, kami langsung melangkahkan kaki menuju Kampung Adat Sigale-Gale (melewati jalan kecil yang kanan kirinya dipenuhi oleh pedagang kaki lima yang menjajakan aneka macam suvenir khas Danau Toba). Tak sampai 10 menit kamipun tiba di Kampung Adat Sigale-Gale. Kebetulan di tempat itu sedang berlangsung tarian Tor-Tor dengan iringan musik khas suku Batak yang penuh semangat. Boneka kayu yang berada di depan rumah adat menari-nari...bergerak-gerak sendiri tanpa ditarik-tarik oleh seutas tali apapun.

Makam Kuno Raja Sidabutar



Dari situ kami kemudian melangkah memasuki kuburan tua Raja Sidabutar. Sebelum masuk, kami harus mengenakan ulos. Aku sempat mengajukan pertanyaan pribadi kepada juru kunci makam sambil berbisik...aku takut tidak diperbolehkan masuk ke situs makam karena sedang berhalangan. Untunglah ternyata hal itu tidak diperhitungkan, jadi aku bisa melenggang masuk.




Di dalam makam batu inilah Raja Sidabutar dan istri pertamanya disemayamkan


Makam batu calon istri kedua Raja Sidabutar yang kemudian urung dilaksanakan pernikahannya

Juru kunci makam menjelaskan mengenai sejarah Raja Sidabutar dan beberapa simbol. Dua di antaranya adalah cicak dan 4 buah payudara. Cicak menyimbolkan kemampuan orang suku Batak untuk beradaptasi dan berbaur, sama halnya seperti cicak yang bisa dijumpai di segala tempat. Sedangkan 4 buah payudara melambangkan kesucian, kesuburan, harmoni, dan kemakmuran.

Aku kembali bertanya mengenai selendang yang menghiasi masing-masing makam, ternyata ada maknanya. Warna putih melambangkan surga, warna merah melambangkan dunia fana, dan warna hitam melambangkan dunia bawah tanah.


Museum Batak

Dari Makam Tua Raja Sidabutar, kami berjalan menuju Museum Batak. Di halaman samping depan museum terdapat kumpulan batu yang susun menyerupai meja dan kursi melingkar, terdapat pula beberapa buah patung.


Museum ini cukup unik karena menggunakan konsep rumah panggung. Untuk memasuki museum harus menaiki beberapa buah anak tangga yang terbuat dari kayu. Begitu memasuki bangunan utama, kami langsung disuguhi beraneka ragam perabot dan perangkat rumah tangga, kain tenun, alat musik, patung-patung kayu yang unik, dll. Tidak ada patokan pasti mengenai harga masuk museum, hanya terdapat kotak kayu kecil di samping pintu masuk yang bisa diisi sesuai kesediaan pengunjung. Biaya tersebut nantinya akan dipakai untuk perawatan benda-benda yang ada di dalam museum tersebut.


Museum Batak



Para-para


Sale-Salehan (tungku dan gantungan ikan yang akan diasapkan)

Setelah puas menjelajah musem dan mencecar guide dengan berbagai macam pertanyaan, kami melangkah ke sisi kiri bangunan museum. Di situ terdapat kantin kecil yang menyediakan aneka minuman dingin. Kami duduk di sana beberapa saat sambil bercerita, bertukar informasi, dan bercanda.

Tak terasa jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 3 sore...aku harus segera menyebrang dan mengejar bis agar tidak terlalu malam tiba di kota Medan. Belum puas rasanya, aku harus kembali lagi ke Danau Toba. It's a promise!

1 comments:

Sutaaraito said...

Wow,Danau Toba is very beautiful

Post a Comment