Tuesday, March 30, 2010

Budaya Paskah (Bagian 3 - habis): Domba dan Babi

ANAK DOMBA
Di antara simbol-simbol Paskah yang populer, anak domba adalah yang terpenting dalam perayaan agung ini karena melambangkan Kristus Yesus.

Anak Domba Paskah dengan bendera kemenangan dapat dilihat dalam lukisan-lukisan yang dipasang di rumah-rumah keluarga Eropa.

Doa paling kuno untuk pemberkatan anak domba ditemukan dalam buku ritual abad ketujuh biara Benediktin di Bobbio, Italia.

Menu utama santap malam Paus pada Hari Raya Paskah adalah anak domba panggang. Setelah abad kesepuluh, sebagai ganti anak domba utuh, disajikan potongan-potongan daging yang lebih kecil.

Tradisi kuno anak domba Paskah juga mengilhami umat Kristiani untuk menyajikan daging anak domba sebagai hidangan populer pada masa Paskah. Hingga sekarang, daging anak domba disajikan sebagai menu utama Minggu Paskah di berbagai daerah di Eropa timur. Tetapi, seringkali bentuk-bentuk anak domba kecil terbuat dari mentega, roti atau pun gula-gula menggantikan sajian daging anak domba, dan menjadi hidangan utama jamuan Paskah.

Di abad kuno adalah merupakan tanda keberuntungan jika orang menjumpai anak domba pada masa Paskah. Merupakan takhayul populer bahwa iblis, yang dapat mengambil wujud segala macam binatang, tidak pernah diperkenankan menampakkan diri dalam wujud anak domba karena simbol religiusnya.

BABI
Siapa sangka ternyata babi juga termasuk salah satu simbol Paskah? Daging babi selalu disajikan sebagai hidangan dalam jamuan Paskah tradisional. di berbagai wilayah di Eropa, daging babi panggang masih tetap merupakan jamuan utama tradisional dalam pesta pernikahan dan dalam perayaan-perayaan. Pada masa Paskah, ham asap, juga daging anak domba, menjadi santapan sebagian besar bangsa Eropa sejak masa silam, serta merupakan menu Paskah tradisional di berbagai wilayah.

Babi selalu melambangkan keberuntungan dan kemakmuran di kalangan orang-orang Indo-Eropa. Sisa-sisa pemakaian simbol kuno ini masih tetap hidup di jaman kita sekarang. Celengan anak-anak dalam bentuk babi misalnya, merupakan perwujudan dari tradisi kuno ini.

Monday, March 29, 2010

Budaya Paskah (Bagian 2): Kelinci Paskah

Jika entry sebelumnya telah membahas mengenai salah satu budaya Paskah, yaitu mengenai telur paskah, kali ini aku mencoba menggali dari berbagai sumber mengapa kelinci merupakan salah satu ikon populer di masa Paskah.

Jujur...aku sebagai pemeluk agama Nasrani merasa tidak setuju dengan banyak tampilnya ikon kelinci ataupun telur di masa Paskah. Walaupun untuk murid-murid Sekolah Minggu, adalah hal yang sangat seru mencari telur yang disebar di berbagai sudut halaman gereja. Karena bagiku pribadi, terutama setelah mengerti dan memaknai keindahan kematian dan kebangkitan Yesus....seharusnya hal itu yang dititikberatkan: cinta kasih Yesus pada manusia sehingga Dia rela memberikan nyawaNYA untuk tebus manusia. Dia yang tidak bersalah, dibuatnya menjadi bersalah.

Ok, kembali ke perihal kelinci paskah...kelinci dipakai sebagai salah satu ikon Paskah karena kelinci adalah simbol kesuburan dan kehidupan baru. Hal ini bisa dilihat dari mudahnya kelinci beranak pinak.

Di zaman kuno, jauh sebelum Zaman Pertengahan di Eropa, kelinci dan telur merupakan simbol kesuburan karena di awal musim semi burung-burung bertelur dan kelinci-kelinci melahirkan banyak anak. Simbol ini berkaitan dengan Eostre, dewi musim semi dan kesuburan dari kepercayaan kuno Jerman. Festival dewi ini diperingati pada hari di mana matahari berada pada titik vernal equinox, yaitu sekitar tanggal 21 Maret. Menurut suatu legenda terkenal, Eostre pernah menyelamatkan seekor burung yang sayapnya membeku saat musim dingin dengan cara menyihirnya menjadi kelinci. Karena dulu kelinci itu adalah seekor burung, sang kelinci pun masih bisa bertelur.

Menurut legenda, kelinci paskah membawa keranjang yang penuh berisi telur, permen, dan mainan yang bewarna-warni ke rumah anak-anak pada malam Paskah. Kelinci Paskah itu akan entah menaruh keranjang tersebut di suatu tempat atau menyembunyikannya di dalam rumah anak itu agar supaya sang anak keesokan paginya mencarinya. Kelinci Paskah memiliki kemiripan-kemiripan dengan Sinterklas yang membawa hadiah untuk anak-anak yang tidak nakal pada malam sebelum hari Paskah/Natal. Sumber legenda tersebut bervariasi, namun kelinci tersebut sudah dikenal sejak 1600; beberapa sumber menyebutkan legenda tersebut berasal dari mitos kesuburan, sementara yang lain menghubungkannya dengan peranan kelinci di dalam ikonografi Kristen.

Kelinci Paskah tidak pernah mempunyai makna religius dalam perayaan Paskah, meskipun dagingnya yang putih, kadang-kadang, dikatakan melambangkan kemurnian dan tanpa cela. Gereja tidak pernah memberikan pemberkatan istimewa bagi kelinci.

Kelinci pertama kali dipakai sebagai simbol Paskah di Alsace dan barat daya Jerman. Makanan yang terbentuk dari kue dan gula berbentuk kelinci pertama kali dibuat pada awal 1800-an. Kelinci Paskah kemudian diperkenalkan ke Amerika oleh para imigran Jerman yang mendarat di Pensylvania pada tahun 1700-an. Kedatangan Osterhase pada malam Paskah selalu dinantikan anak-anak, hampir sama seperti menanti kedatangan Sinterklas.

Sesuai tradisi, anak-anak membuat sarang kelinci yang berwarna-warni di pojok tersembunyi. Jika mereka berkelakuan baik, maka Osterhase akan menaruh telur di dalam sarang itu. Seiring waktu, sarang diganti menjadi keranjang anyam dan tempat tersembunyi diganti dengan serunya mencari tempat disembunyikannya keranjang anyam tersebut.

Budaya Paskah (Bagian 1): Telur Paskah

Beberapa hari lagi Jumat Agung dan Paskah menjelang.
Semakin terasa suasana kemenangan karena pada Jumat Agung Yesus menyerahkan nyawaNYA sebagai gantiku dan Paskah Yesus menang melawan maut, sehingga otomatis aku yang percaya padaNYA beroleh bagian dalam kehidupan kekal.
Yang menjadi pertanyaan di dalam kepalaku mengapa justru telur dan kelinci yang menjadi ikon Paskah?
Mengapa bukan salib? Mengapa bukan mahkota duri?
Aku mencoba searching di google dan ini adalah kesimpulan dari hasil googlingku.
Kali ini yang aku coba jabarkan adalah mengenai kebudayaan telur paskah.

Telur paskah berasal dari tradisi kesuburan kaum Indo-Eropa dalam menyambut musim semi. Orang Persia
saling menghadiahkan telur pada saat musim semi yang menandakan dimulainya tahun yang baru. Tradisi ini begitu melekat sehingga sulit dihapus karena memang Paskah biasanya jatuh pada awal musim semi.

Telur dipakai menjadi simbol musim semi karena telur adalah simbol kesuburan. Nama "Easter" sendiri diambil dari nama dewa musim semi - Eostre. Selain itu ada alasan yang sangat praktis menjadikan telur sebagai tanda istimewa Paskah, yaitu karena dulu telur merupakan salah satu makanan pantang selama Masa Prapaskah. Sehingga pada masa Paskah, jumlah telur yang ada sangat banyak.

Tradisi menyembunyikan telur-telur paskah dimulai di Inggris pada abad ke-18. Menurut legenda, hanya anak-anak yang berkelakuan baik yang akan mendapat telur warna-warni di atas jerami yang mereka taruh di dalam topi mereka bersama hadiah-hadiah lain. Kebiasaan ini berakar kuat di Jerman di mana telur-telur disebut Dingeier (telur-telur yang dihutang). Sehingga berkembanglah berbagai macam pantun di Perancis, Jerman, Austria dan Inggris, di mana anak-anak, bahkan hingga sekarang, menuntut telur-telur Paskah sebagai hadiah mereka.

Di beberapa daerah di Irlandia, anak-anak mengumpulkan telur-telur angsa dan bebek sepanjang Pekan Suci, untuk diberikan sebagai hadiah pada Minggu Paskah. Sebelumnya, pada Minggu Palma, mereka membuat sarang-sarang kecil dari batu, dan sepanjang Pekan Suci mereka mengumpulkan sebanyak mungkin telur, menyimpannya dalam sarang-sarang batu mereka yang tersembunyi. Pada Minggu Paskah, mereka memakan semuanya, membaginya dengan anak-anak lain yang masih terlalu kecil untuk mengumpulkan telur-telur mereka sendiri.

Orang-orang dewasa juga memberikan telur-telur sebagai hadiah di Irlandia. Jumlah telur yang akan dihadiahkan ditentukan menurut peribahasa kuno di kalangan rakyat Irlandia: Satu telur untuk pria sejati; dua telur untuk pria terhormat; tiga telur untuk yang miskin; empat telur untuk yang termiskin/pengemis

Pada abad pertengahan, Raja Edward I dari Inggris (1307) memerintahkan agar 450 butir telur direbus menjelang Paskah, diberi warna atau dibungkus dengan daun keemasan kemudian dibagi-bagikan kepada seluruh anggota keluarga kerajaan pada Hari Raya Paskah.

Di kebanyakan negara, telur-telur diberi warna polos dengan pewarna dari tumbuh-tumbuhan. Di kalangan orang Kasdim, Suriah dan Yunani, umat Eastern Ortodhox Church saling menghadiahkan telur-telur berwarna merah yang menyimbolkan darah Kristus. Di daerah-daerah di Jerman dan Austria, hanya telur-telur berwarna hijau saja yang dipergunakan pada Hari Kamis Putih, tetapi telur-telur yang berwarna-warni dipergunakan selama perayaan Paskah. Orang-orang Slavia membuat pola-pola istimewa dengan emas dan perak.

Tradisi telur Paskah berkembang di antara bangsa-bangsa Eropa Utara dan di Asia. Tetapi, di Eropa Selatan dan juga di Amerika Selatan, tradisi telur Paskah tidak pernah menjadi populer.

Membagi-bagikan telur pada Perayaan Paskah akhirnya dapat diterima oleh gereja karena telur memberikan makna religius: adanya kehidupan, di mana Yesus memberikan hidup baru melalui kebangkitanNYA.

Wednesday, March 24, 2010

Depot Gudeg Bu Toegijo

Maaf para pembaca blogku karena akhir-akhir ini selera makanku lagi menggila, jadinya entry blogku sebulan ini kebanyakan mengenai makanan....

Emh, tempat makan yang kali ini akan aku referensikan adalah Depot Gudeg Bu Toegijo. Sebenarnya Gudeg merupakan makanan khas Yogyakarta, tapi berhubung aku berdomisili di Surabaya dan Gudeg adalah salah satu menu favoritku, aku jadi hunting di beberapa depot atau warung tenda kaki lima yang menjajakan menu Gudeg. Nah, salah satu penjaja gudeg versi paling oke di lidahku di Surabaya selain Gudeg Ibu Har (Jalan Sulung Surabaya) adalah Depot Gudeg Bu Toegijo.

Adalah Sutaaraito yang pertama kali mengenalkan aku pada Depot Gudeg Bu Toegijo. Dia mengatakan kalau dia sendiri tahu mengenai depot ini dari bosnya yang mengambil kuliah S2 di Unair. Nah, bosnya sendiri tahu dari teman kuliahnya. Jadi sangat jelas di sini, kalau Depot Gudeg Bu Toegijo dikenal melalui berita mulut ke mulut.

Bu Toegijo sudah memulai usahanya sejak 1970. Dia menjadikan teras dan ruang tamu rumahnya yang terletak di kawasan Kertajaya VI A / 46 Surabaya menjadi tempat usaha. Depot Gudeg Bu Toegijo buka mulai Senin - Sabtu (pukul 6 pagi - 6 sore), sedangkan pada hari Minggu buka mulai pukul 6 pagi sampai 1 siang.

Menu favoritku setiap berkunjung ke Depot Gudeg Ibu Toegijo adalah nasi gudeg + cecek + kare / opor ayam + tahu bacem berukuran raksasa (uenak pol)...mantap sekali rasanya, apalagi ditemani segelas jumbo es teh manis beraroma melati atau es jeruk manis yang mengalir segar di tenggorokan...hmmmm, bisa ga peduli deh mertua lewat hahahaha ^_^

Selain menu Nasi Gudeg, Depot Gudeg Bu Toegijo juga menyediakan Nasi Rawon, Nasi Campur, dan Lontong Cap Go Meh yang tak kalah lezatnya. Harga bervariatif sesuai dengan menu tambahan yang dipilih.

Pada awal bulan ini, aku beberapa kali memesan menu Gudeg dari Depot Gudeg Bu Toegijo untuk keperluan training sales seluruh cabang perusahaan. Aku sangat senang karena tidak ada keluhan apapun dari para peserta training mengenai menu yang disajikan, padahal biasanya cabang Makassar dan Medan paling cerewet mengenai menu makanan, begitu juga para jajaran Direksi. Itu artinya menu yang disajikan sesuai dengan lidah seluruh jajaran Direksi perusahaan dan para peserta training.

Seiring perjalanan waktu, saat ini Depot Gudeg Bu Toegijo telah memiliki 3 cabang yang menyebar di Raya Ngagel, Food Court GOCI, dan Pujasera Pring Ijo di Jalan Jemur Sari.

Tuesday, March 23, 2010

Nasi Goreng Jawa RM Soto Pak Djayus

Seperti namanya RM Soto Pak Djayus sebenarnya lebih terkenal karena menu soto ayam kampung, namun setiap kali berkunjung ke salah satu cabang RM Soto Pak Djayus yang terletak di dekat rumahku (Raya Tenggilis Mejoyo Surabaya), aku lebih memilih untuk menikmati menu Nasi Goreng Jawa Pak Djayus.

Yang istimewa dari Nasi Goreng Pak Djayus adalah bumbunya. Sang koki tidak menggunakan saos tomat untuk memberikan warna pada nasi melainkan hasil giling tomat, cabe merah, bawang putih, dan bawang merah....benar-benar nyata bedanya jika dibandingkan dengan nasi goreng jawa yang menggunakan saos tomat sebagai salah satu bumbu penyedap. Dan semakin nikmat dengan irisan daging ayam kampung serta telur rebus. Hmmm...aku suka banget! Padahal biasanya aku paling anti dengan menu masakan nasi goreng, tapi kali ini aku dibuat bertekuk lutut.

Selain menu soto ayam, RM Soto Pak Djayus juga memiliki beberapa alternatif menu pilihan seperti Mie Goreng Jawa dan Mie Kuah Jawa. Pilihan minuman juga bervariatif, mulai dari soft drink, es campur, es teler, serta aneka juice.

Hampir setiap hari Minggu pagi aku beserta keluarga singgah di tempat ini. Aku suka dengan suasana tempat makan yang bersih dan terkesan lapang karena terdapat banyak jendela yang "mencuri" pemandangan taman di sekeliling RM Soto Pak Djayus. Banyaknya bukaan, juga menghadirkan sirkulasi udara yang sehat. Hal lain yang membuat aku betah bersantap di sini adalah nuansa natural yang dihadirkan dengan dekorasi batu alam pada bagian lantai. Suasana Jawa semakin kental dengan hadirnya beberapa ornamen cermin berukuran raksasa dengan kayu berukir sebagai bingkainya dan para pegawai yang selalu mengenakan busana batik. Sungguh, menciptakan iklim bersantap yang santai dan nyaman.

Saturday, March 20, 2010

Warung Soto Cak To

Sebenarnya aku tahu tempat makan ini secara tidak sengaja. Waktu itu aku sedang dalam perjalanan pulang dari membezuk salah satu kerabat di sebuah rumah sakit swasta di Jalan Undaan Wetan - Surabaya. Saat itu aku melintasi sebuah kedai tenda berwarna hijau di pojokan jalan Ngemplak Gang I (sebelah pos satpam) yang didatangi begitu banyak pengunjung, bahkan beberapa dari mereka rela makan sambil berdiri di luar tenda padahal saat itu matahari sedang bersinar dengan begitu teriknya. Rasa penasaranku timbul, menjajakan makanan apa? Mengapa sebegitu ramai pengunjung di tempat itu dan tidak jarang dari para pengunjung adalah pengendara mobil-mobil mewah. Tapi segera aku redam rasa penasaranku karena aku harus segera menuju suatu tempat.

Pada jam makan siang beberapa hari kemudian, tiba-tiba salah satu atasanku mengajak beberapa orang anak buahnya makan siang bersama. "Aku mau menunjukkan ke kalian salah satu tempat favoritku untuk makan siang, kalian suka makan soto ayam kan?" begitu katanya.

Singkat cerita, ternyata dia membawa kami ke kedai tenda yang aku lewati beberapa hari sebelumnya. Jadi, di sini jual soto rupanya....kataku dalam hati. Warung Soto Cak To begitu nama kedai itu.

Aroma soto langsung menyambut dari luar kedai. Para pelayan berseragam kaos polo dengan logo salah satu merk minuman dingin menyapa kami dengan ramah dan mempersilahkan kami duduk seraya menanyakan pesanan kami. Sambil menanti pesanan kami tiba, aku memperhatikan para pelayan dengan ramah mengajak para pelanggan mereka berbicara. Kelihatan sekali kalau mereka adalah para pelanggan setia karena para pelayan sudah mengetahui kesukaan mereka masing-masing dan bercanda mengenai apa saja.

Akhirnya semangkuk soto ayam disajikan. Hmmm aromanya benar-benar membangkitkan selera makan. Kuahnya pas, tidak terlalu kental dan tidak terlalu bening. Paduan bumbu soto dan bubuk koya yang sempurna. Maknyus!!! Apalagi bila ditemani dengan segelas es kelapa muda atau es jeruk manis (tersedia juga es teh dan teh botol). Pantaslah tempat ini begitu ramai pengunjung. Rasa nikmat soto dipadu dengan keramahan para pelayan serta harga yang terjangkau menjadi magnet.

Seiring dengan semakin membludaknya pelanggan, akhirnya warung soto cak To menjadikan rumah tinggal sang pemilik di Jalan Ngemplak Gang I sebagai cabang. Aku sudah beberapa kali makan di cabang yang hanya beberapa langkah dari warung pusat, tempatnya jauh lebih nyaman dan bersih (karena berupa bangunan permanen, bukan warung tenda)...namun tetap saja aku harus ke Warung Soto Ayam Cak To sebelum jam makan supaya bisa kebagian tempat duduk.

Thursday, March 18, 2010

Cak Son

Entah kenapa, dibandingkan beberapa tukang tambal ban yang aku kenal, aku sangat menyukai Cak Son. Usianya sudah berkisar 40 tahun lebih, rambut di kepalanya sudah mulai menipis, namun badannya masih tegap dan sigap. Jujur, aku memiliki insting yang lumayan kuat mengenai penilaian terhadap seseorang dan aku bersyukur karena instingku sering kali benar, sehingga aku terhindar dari berkenalan dengan orang-orang usil di dunia maya.
Dua hari yang lalu seperti biasa, aku singgah sejenak di tambal ban milik Cak Son. Aku suka singgah di sana untuk mereguk segarnya sebotol minuman dingin atau hanya sekedar untuk menyapa Cak Son beserta istri dan anaknya yang terkadang menemani. Saat itu, aku kembali meneguk sebotol minuman dingin di hari yang terik. Ahhhh....segar sekali rasanya! Segera setelah aku menghabiskan cairan minuman dingin itu, aku merogoh saku celana panjangku dan memberikan beberapa lembar uang seribuan yang sudah terlipat kepada Cak Son kemudian melaju menuju kantor.

Sore hari selepas jam kantor, aku kembali ke area Cak Son biasa mangkal. Kali ini aku tidak singgah ke tempatnya, melainkan menemui seseorang. Aku menghabiskan waktu beberapa menit membahas suatu pekerjaan dan berakhir dengan pembicaraan yang tidak penting. Melihat itu, Cak Son langsung datang menghampiriku. Aku tersenyum menyambutnya. Tiba-tiba Cak Son menyodorkan beberapa lembar uang ribuan kepadaku.

"Uang apa ya, pak?" tanyaku pada Cak Son.
"Oh ini...uang mbak kebanyakan tadi pagi," sahutnya.
"Ah, masa sih?"
"Iya, mbak, bener...kan mbak tadi ngasi duit yang dah dilipat, eh...ga taunya di dalam lipatan itu ada duit 5 ribuannya, jadi kebanyakan bayarnya, mbak...nanti saya cepet kaya dong kalo gini hehehehe."

Aku terpana memandang Cak Son. Mungkin beberapa ribu rupiah bukan nilai yang besar, tapi kejujuran Cak Son membuatku semakin menyukainya. Bisa saja dia tidak mengaku mengenai kelebihan uang yang aku berikan padanya, aku toh tidak menyadari akan hal itu sebelumnya sampai akhirnya dia datang dan memberikanku uang kembalian.

Aku kagum pada Cak Son dan prinsip hidupnya. Walaupun pendapatannya sebagai tukang tambal ban terbatas, pantang baginya untuk berlaku tidak jujur demi mengeruk keuntungan lebih seperti yang dilakukan oleh beberapa tukang tambal ban lainnya (menyebar paku di jalan sehingga banyak yang mengalami ban bocor).

Cak Son pernah berkata padaku, kalau Tuhan akan pelihara dia beserta keluarganya dengan cara Tuhan sendiri...kalau dilihat dari penghasilannya, tidak mungkin dia bisa menyekolahkan anak-anaknya ke bangku sekolah tingkat tinggi, tapi hal itu mampu dilakukan.
"Semua ini dari Tuhan, mbak...saya ya cuman tukang tambal ban."

Terima kasih, Tuhan, Engkau mengijinkanku untuk belajar dan melihat kasih pemeliharaanMU.

Wednesday, March 17, 2010

Foot Note: Makassar (Day 1)

Akhirnya ada waktu juga untuk membagi sekelumit kisah perjalananku ke Makassar 5-7 Maret 2010 yang lalu.

Aku berangkat ke Makassar dengan penerbangan paling pagi dari Surabaya (pukul 6 WIB) karena waktu traveling yang sempit, jadi harus memaximalkan seluruh waktu yang tersedia dan rela berkorban...nah, salah satu pengorbanannya adalah bangun pukul 3 subuh dan berangkat ke bandara pukul 4.30 pagi dengan sepeda motor...brrrr adem banget rasanya, mana keadaan masih sangat gelap!

Aku pertama kali menjejakkan kaki di Makassar pukul 8.30 WITA. Wah, ternyata Bandara Hasanuddin lebih bagus jika dibandingkan dengan Bandara Juanda. Wow! Letak Bandara Hasanuddin 30-45 menit dari Makassar jika ditempuh melalui jalur tol. Begitu melangkah keluar bandara, aku langsung diserbu puluhan supir taxi, baik taxi resmi bandara maupun taxi gelap yang menawarkan jasa mereka. Menyebalkan sekali, serasa di Terminal Purabaya / Bungurasih. Walau sudah kukatakan bahwa aku dijemput, mereka masih gigih menawarkan jasa. Yach, tidak bisa disalahkan karena itu adalah sumber pendapatan mereka.

Singkat cerita, akhirnya aku bertemu dengan 2 orang cabang yang ditunjuk untuk menjemputku dan mengantarku jalan-jalan. Benar-benar fasilitas istimewa dari kepala cabang Makassar...matur nuwun banget, pak! Serasa dianakemaskan :)

Oleh Bapak Fachruddin dan Ibu Ratna - orang cabang yang ditugaskan khusus untuk mengawalku, aku dibawa langsung menuju Kabupaten Maros, tepatnya ke tempat wisata air terjun Bantimurung dan Goa Batu.

KUDAPAN KHAS BUGIS
Begitu memasuki gerbang Kabupaten Maros, kami mampir sejenak di kedai Jalangkote Air Tahu untuk membeli kudapan dan air mineral untuk selama perjalanan menuju Kecamatan Bantimurung. Sebenarnya di kedai ini terdapat berbagai macam kudapan, hanya saja aku lebih suka untuk mencari kudapan khas yang tidak pernah kutemui sebelumnya. Mataku langsung tertarik pada kudapan khas Makassar: bolu kukus dan kue putu.


Bolu kukus layaknya kue mangkok di Jawa, terbuat dari tepung beras. Hanya bedanya dicampur dengan gula jawa sehingga berwarna coklat dan alasnya terbuat dari daun pandan yang dibentuk persegi.

Sedangkan kue putu...sebenarnya ada juga di Jawa, penganan yang terbuat dari tepung beras yang dikukus dalam batang bambu berukuran 5 cm, bedanya kue putu di sana tidak berisikan gula jawa dan parutan kelapa langsung dicampur dalam adonan dan dibungkus layaknya lontong dengan lembaran daun pisang. Benar-benar enak disantap kala masih hangat ^_^

Selama perjalanan ke Kecamatan Bantimurung, kami melewati masjid raya Maros yang megah di sisi kiri jalan. Semakin mendekati tempat wisata, mataku dimanjakan dengan pemandangan bukit kapur yang diselimuti pepohonan nan hijau, rumah-rumah panggung penduduk asli (dindingnya terbuat dari kayu dan atap terbuat dari seng...sedikit berbeda dengan rumah panggung di Sumatera walau sama-sama bagian bawah rumah dipergunakan untuk kandang ternak atau gudang penyimpanan, tapi tinggi dinding rumah panggung di sana hanya kisaran 2 meter saja).


AIR TERJUN BANTIMURUNG
Akhirnya tiba juga di tempat wisata air terjun Bantimurung. Aku beruntung karena mengunjungi tempat ini pada saat hari biasa sehingga tidak ramai pengunjung. Berdasarkan info dari Ibu Ratna, pada masa libur atau akhir pekan tempat ini sangat ramai sehingga sulit mendapatkan tempat parkir dan harus berjalan jauh untuk memasuki gerbang.

Setelah puas menjelajahi museum kupu-kupu, berbasah-basah di air terjun, dan menyusuri Goa Batu, kami bertiga kembali bertolak menuju Makassar untuk memenuhi undangan kepala cabang Makassar makan siang bersama.

Artikel lebih detail mengenai air terjun Bantimurung bisa dibaca di: http://mycoratcoretz.blogspot.com/2010/03/foot-note-bantimurung.html

BENTENG (FORT) ROTTERDAM
Setelah makan siang, aku diajak menuju Benteng (Fort) Rotterdam. Tiket masuk yang dikenakan Rp 3.000/orang dewasa, oleh penjaga stand tiket, kami ditawari jasa guide selama berkeliling benteng, tapi kami menolaknya.

Di dalam benteng ini terdapat museum di sisi kiri dan kanan gerbang museum. Museum yang terletak di sisi kiri berisikan benda-benda pra sejarah manusia purba, material bangunan museum, mata uang kuno, dan keramik-keramik cina kuno (guci, piring) yang cantik. Sedangkan museum yang terletak di sisi kanan berisikan kehidupan bahari di Sulawesi Selatan, mulai dari miniatur kapal pinisi, alat penangkap ikan, senjata tradisional, dll. Pada bagian tengah benteng terdapat bangunan gereja. Oh ya, pada sisi kiri gerbang benteng, terdapat ruang-ruang tahanan yang sudah dialihfungsikan menjadi kantin dadakan...sayang sekali karena seharusnya bisa menjadi spot yang menarik.

TRANS STUDIO THEME PARK
Puas menjelajahi benteng selama 45 menit, kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju ikon baru kota Makassar: Trans Studio Theme Park. Sungguh, tempat ini membuatku penasaran setengah mati karena konon merupakan wahana permainan indoor terbesar seAsia. Gambaran yang ada di dalam kepalaku seperti wahana indoor di Genting Highlands - Malaysia. Studio ini terletak 3 menit dari Pantai Losari (Jalan HM Dg Ptompo - Metro Tanjung Bunga).

Tiket masuk ke Trans Studio sebesar Rp 100.000/orang. Harga tersebut untuk kartu studio pass yang dapat diisi ulang (berlaku seumur hidup) dan enterance untuk 15 pilihan wahana permainan dari puluhan wahana yang ada. Sekali lagi aku beruntung...seharusnya ada beberapa wahana yang masih dikenakan charge tambahan Rp 25.000/orang/wahana (Bioskop 4D, Magic Thunder Coaster, Dragon's Tower, Jelajah, dan Dunia Lain), tapi entah kenapa pada saat itu aku dapat bermain dalam wahana-wahana tersebut gratis!!! Asyik aja kalau begini :D

Di Trans Studio tidak diperbolehkan untuk membawa makanan dan minuman dari luar, binatang peliharaan, dan tidak diperkenankan juga untuk merokok. Pengawasan cukup ketat karena pada pintu masuk terdapat beberapa petugas yang akan memeriksa tas bawaan pengunjung.

Setiap akhir pekan, Studio ini biasanya banjir artis ibukota. Sewaktu di sana kebetulan ada Olla (OKB).

Secara pribadi, aku kecewa berkunjung ke Trans Studio karena wahana yang ada sebagian besar diperuntukkan untuk anak-anak berusia 5-15 tahun. Sedangkan wahana yang bisa dinikmati oleh orang dewasa jumlahnya sangat terbatas (hanya sekitar 5 wahana saja dan masih dikenakan charge tambahan di luar harga tiket masuk). Menurutku Dufan-Jakarta jauh lebih menarik, walaupun tidak dipungkiri di Trans Studio suasana lebih nyaman karena tidak terkena terik matahari.

PANTAI LOSARI
Tak terasa 2 jam aku asyik bermain di Trans Studio. Hari sudah sore ketika kami keluar dari Trans Studio, kami langsung meluncur ke Pantai Losari. Pantai ini adalah pantai hasil urug. Terdapat rentangan sepanjang 1 KM, tempat sempurna untuk menyaksikan sunrise dan sunset...bagus sekali! Tidak mengherankan kalau ada yang mengatakan di tempat ini terdapat sunrise dan sunset terindah sedunia. Bangganya jadi orang Indonesia!

Monday, March 8, 2010

Wisata Kuliner di Makassar

Berhubung baru berkunjung ke Makassar, aku mo share nih beberapa menu icip-icip selama kunjunganku ke sana....

Kapurung + Ikan Parede + Barobbo
Ini adalah menu khas pertama yang aku cicip setiba di Makassar. Beberapa rekan kantor cabang membawaku ke RM Aroma Luwu yang berlokasi di Jalan Rajawali.





Begitu melihat kapurung yang disajikan dalam mangkok kaca besar di atas meja, selera makanku langsung bangkit. Hmmm....tapi begitu aku akan menyendok masakan itu, orang-orang cabang langsung mengatakan kalau biasanya orang dari luar Makassar tidak menyukai menu ini karena rasanya yang kecut karena dan sagu (berbentuk seperti kolang-kaling pipih bening dan kenyal) yang memberikan sensasi aneh di mulut...ah, masa sih? Tanyaku dalam hati....dibilang begitu supaya aku tidak makan atau emang separah itu rasanya? Kubulatkan hati untuk menyuap kapurung ke dalam mulutku....slurp....wah, enak!!! Gini kok dibilang aneh sih? Apalagi sewaktu dipadu dengan Ikan Parede....wuih, mantap abis!!!

Setelah menghabiskan sepiring besar kapurung dan ikan parede, menu lain disajikan: barobbo. Barobbo sepintas tampak seperti bubur manado, hanya saja bahan utamanya adalah jagung, labu, bayam...sebagai teman menikmati barobbo, disajikan pula ikan asin goreng, irisan jeruk nipis, kemangi, dan sambal. Benar-benar nikmat! Aku langsung jadi fans barobbo.
Sup Konro

Walaupun sebenarnya menu ini tersedia di Surabaya, aku sama sekali tidak pernah memakannya. Gambaran yang ada di kepalaku mengenai menu yang satu ini begitu mengerikan dan tidak membangkitkan selera. Eh, ternyata di Makassar aku malah diajak makan malam dengan menu Sup Konro di Jalan Gng Bawakaraeng (sisi kanan jalan persis sebelum perempatan lampu lalu lintas Jalan Bandang dan Jalan Veteran). Demi menghormati yang sudah mengajak makan malam, aku mengiyakan. Sepiring nasi hangat disajikan...aku berdebar-debar menantikan sup konro disajikan di depanku....ngeri harus membayangkan menggerogoti tulang iga sapi. Benar saja, tak lama kemudian pelayan membawa piring berisi 6 potong iga sapi berukuran besar bertabur irisan daun bawang dan bawang merah goreng. Begitu menu itu disajikan di depanku dan hidungku menghirup aroma lezatnya, buyar langsung kengerianku. Jadi dengan pede aku menambah air jeruk nipis ke dalam kuah sup. Hmmmm lekker! Ga terasa aku sampai habis 2 porsi sup konro hehehehe

Pallu Basa

Ini dia menu makan siang hari kedua di Makassar. Ada banyak tempat yang menjual menu khas ini di Makassar, tapi yang terkenal enak adalah di Jalan Onta Lama. Tempatnya hanya berupa warung tenda, tapi jangan ditanya yang mengantri untuk makan di sana....


Pallu Basa disajikan dalam mangkuk kecil yang berisi potongan dadu daging sapi yang dipadu dengan kuah berwarna coklat kental yang kaya akan rempah-rempah dan diberi air perasan jeruk nipis / jeruk purut. Uenak tenan!


Mie Kering

Walaupun namanya mie kering, sebenarnya menu yang satu ini termasuk dalam kategori masakan berkuah. Bentuknya tidak terlalu berbeda jauh dengan Tamie Goreng Cap Jay, hanya bedanya yang disajikan dalam adonan kuah kental hanya sawi hijau dan irisan ayam. Dan tidak ketinggalan potongan jeruk nipis...rasanya orang Makassar mania jeruk nipis deh...tiap menu masakan di sana sebagian besar disajikan dengan irisan jeruk nipis. Aku menikmati mie kering Anto di Jalan Bali yang sangat terkenal di Makassar, sehingga tidak heran jika banyak yang mengantri untuk makan di tempat ini. Tempat ini buka hingga pukul 4 pagi setiap harinya. Sebenarnya ada tempat makan lain yang juga menyajikan menu yang sama di Jalan Irian, hanya saja tempatnya lebih kecil dan yang mengantri juga banyak, jadi aku lebih memilih Mie Kering Anto di Jalan Bali.

Pisang Epe


Masih di hari kedua...setelah makan mie kering, aku meluncur ke lokasi Pantai Losari...aku penasaran dengan yang namanya Pisang Epe. Ternyata pisang epe adalah pisang kepok yang mengkal, dipipihkan, lalu dibakar di atas arang, kemudian disajikan dalam piring kecil dengan dilengkapi saus yang terbuat dari gula jawa yang dicairkan. Istimewanya gula jawa cair ini diberi durian....ckckck sempurna enaknya, apalagi makannya sambil menikmati view pantai di malam hari, MANTAPH!!


Sup Saudara

Hari terakhir kunjungan ke Makassar, aku diajak makan siang dengan menu Sup Saudara. Tidak berbeda jauh dengan menu Sup Konro, hanya saja daging serta jerohan disajikan dalam bentuk potongan dadu, lengkap dengan irisan daun bawang dan tentu saja jeruk nipis. Enyak...enyak...enyak!

Sorry, khusus yang ini ga ada fotonya karena pas lagi low bat.



Pisang Ijo

Ini adalah pilihan hidangan pencuci mulut setelah menikmati Sup Saudara. Masih di daerah Pantai Losari, tepatnya di RM Hawaii. Pisang raja dibalut dengan adonan berwarna hijau, disajikan dengan bubur tepung beras, es serut, dan sirup plus susu kental manis. Slurp... nikmat sekali diminum pada saat siang hari yang terik. Perpaduan rasa manis dari sirup dan rasa gurih dari bubur tepung beras+santan menjadikan menu ini salah satu favoritku.


Coto Makassar


Belum bisa dibilang ke Makassar kalau belum mencicipi Coto Makassar. Biasanya begitu mendengar kata soto, yang ada dalam pikiranku adalah irisan ayam atau daging dalam kuah kaldu berwarna kuning yang disajikan dengan taburan bawang goreng dan irisan daun seledri. Tapi kuah Coto Makassar tidaklah berwarna kuning kunyit, melainkan kecoklatan...mirip dengan kuah Pallu Basa. Uniknya Coto Makassar disantap dengan ketupat, bukan nasi atau lontong. Aku menyantap Coto Makassar bersama beberapa orang kantor cabang Makassar di sebuah depot yang berlokasi di Jalan A.P. Pettarani.

Gila...bener-bener puas berwisata kuliner di sana!

Sukses menaikkan berat badan, YES!

Mau balik lagi ah ke Makassar....

Thursday, March 4, 2010

Foot Note: Bantimurung

Nekad...yup, nekad...pilihan kata yang tepat untuk perjalananku kali ini karena aku benar-benar jalan sendiri ke suatu tempat yang belum pernah aku kunjungi sama sekali: Makassar.

Walau ngakunya jalan sendiri, bukan berarti aku ga memanfaatkan jaringan rekan kerja kantor cabang di sana...wkwkwkwkwk inilah enaknya jadi orang yang kerja di kantor pusat...2 orang rekan kerja dari kantor cabang diliburkan khusus untuk menemaniku selama aku berada di sana plus mobil! Makasih lho pak kepala cabang udah memberikan fasilitas istimewa untukku. Dari bandara, aku bersama 2 rekan kantor cabang langsung meluncur ke Kabupaten Maros. Lama perjalanan yang kami tempuh sekitar 1 jam dari bandara.
Ada apa sih di Kabupaten Maros?

Air Terjun Bantimurung dan Kerajaan Kupu-Kupu

Ini dia salah satu spot wisata yang ingin kukunjungi berdasarkan hasil googling. Air terjun ini terletak di kawasan karst (lembah bukit kapur) Maros-Pangkep. Begitu melangkahkan kaki melewati pintu masuk, aku langsung di sambut oleh Museum Kupu-Kupu di sisi kanan. Untuk menuju museum kupu-kupu harus menyebrangi jembatan yang terbuat dari kayu.

Setelah melewati museum kupu-kupu, aku melihat landscape kolam yang diperuntukkan untuk anak-anak. Air cenderung dangkal dan beraliran tenang. Terdapat papan luncur dan area bermain untuk anak-anak.

Melangkah lebih jauh, aku melihat beberapa orang dewasa sedang asyik berenang di air yang berwarna hijau. Gairah untuk berbasah-basah ria di air terjun semakin besar, apalagi mendengar gemuruh air terjun yang semakin keras.

Air terjunnya sih tidak terlalu tinggi (sekitar 15 meter), tapi lebar (20 meter) dan air yang mengalir melimpah ruah. Asyik banget berbasah-basah di sini! Norak? Biarin....di Surabaya kan ga ada! Lagian dah jauh-jauh terbang ke Makassar, rugi dong kalo ga mandi di sini. Untuk memasuki kawasan ini, cukup merogoh kocek Rp 10.000 (dewasa), Rp 5.000 (anak-anak), dan Rp 20.000 (turis mancanegara).

Setelah puas bermain air, aku menaiki tangga yang terbuat dari beton di sebelah kiri air terjun. Tangga ini menuju goa yang bernama Goa Batu. Yang tertulis di papan penunjuk arah sih, jarak dari air terjun menuju goa adalah 800 meter, tapi setelah menaiki 96 anak tangga, ternyata masih harus menyusuri jalan setapak di dalam hutan, menyebrangi jembatan reyot yang terbuat dari kayu, dan naik tangga lagi! Untungnya, perjalanan tidak terasa karena mataku dimanjakan oleh kegemulaian berpuluh kupu-kupu yang berterbangan. Kata guide yang menemaniku, jikalau sedang musimnya (Juni-Oktober) aku bisa melihat ribuan kupu-kupu berterbangan di lokasi ini. Pantaslah tempat ini juga disebut sebagai Kingdom of Butterfly.

Ternyata tidak hanya keelokan gemulai kepakan sayap kupu-kupu cantik yang menghibur perjalananku menuju goa...tidak jauh dari lokasi air terjun utama, terdapat juga danau yang airnya berwarna kehijauan dan air terjun kedua. Kawasan danau dan air terjun kedua Bantimurung merupakan kawasan terlarang. Jika dilihat sepintas, kelihatannya danau terlihat tenang. Tapi ternyata kawasan danau ini telah menelan banyak korban jiwa, sehingga oleh pengelola lokasi wisata dibatasi oleh pagar besi.


Di dekat tempat aku break, aku melihat terdapat sebuah makam yang kelihatannya sangat terawat di sebelah kiri jalan setapak. Rasa penasaranku timbul karena tidak melihat tulisan apapun pada batu nisan makan itu. Berdasarkan informasi yang aku dapatkan dari para guide, makam itu adalah makam Raja Bantimurung.

Setelah break sejenak sambil menikmati pemandangan danau, aku kembali melanjutkan perjalanan menuju goa. Kali ini kedua guide yang mengawalku membawa sebuah lampu petromax untuk menerangi perjalanan kami selama di dalam goa nantinya. Harga sewa lampu petromax adalah Rp 50.000,- sedangkan untuk sebuah senter adalah Rp 10.000,- Aku lebih memilih menggunakan lampu petromax karena cahaya yang dihasilkan lebih terang.

Sebelum memasuki goa, kembali aku harus menapaki beberapa buah anak tangga. Di pertengahan anak tangga, tiba-tiba salah seorang guide memukul batu kapur yang meruncing pada bagian kiri atas kepalaku. Batu itu berbunyi nyaring. Rupanya batu itu seperti laiknya bel permisi mengunjungi goa.

Baru kali ini deh masuk goa yang benar-benar goa. Gelap sekali dan tanah tempat aku berpijak adalah tanah liat yang sedikit basah, jadi bisa terbayang betapa licinnya jalan di dalam goa...harus extra hati-hati. Goa ini sangat istimewa bagi penduduk Kabupaten Bantimurung karena konon di goa ini Raja Bantimurung mengasingkan diri untuk bertapa. Berdasarkan informasi yang aku peroleh dari guide, Raja Bantimurung bertapa di tempat ini seraya memanjatkan doa agar Bantimurung dapat terkenal sampai ke daerah luas.

Menyusuri goa sambil menikmati keindahan stalaktit dan stalakmit yang bertambah setiap centimeternya setiap 60 tahun! Wow...kalau melihat stalaktit yang menjulur begitu panjangnya, bisa jadi goa ini sudah sangat tua.

Ada beberapa bebatuan di dinding goa yang boleh terbilang unik. Ada batu monyet, batu kaki gajah, dan satu lagi...batu jodoh. Bagi yang masih single dan ingin mendapatkan jodoh atau bagi pasangan yang ingin hubungan mereka berakhir di pelaminan, mengikatkan tali atau plastik di sekeliling batu jodoh. Bagi yang percaya, niscaya permohonan mereka akan terkabul.

Batu monyet

Batu kaki gajah

Batu jodoh


Kami kembali menyusuri goa lebih dalam lagi. Kali ini kami harus memasuki sebuah celah lorong sempit di dalam goa. Kedua rekan kantor cabang memutuskan untuk tidak memasuki celah tersebut karena alasan kesehatan. Tapi aku sudah kepalang tanggung, lanjutkan!

Setelah menyusuri lorong sempit itu, ternyata terdapat sebuah ruangan goa yang sangat luas. Di tempat inilah Raja Bantimurung bertapa, wudhu, dan shollat. Ada yang istimewa dari tempat wudhu Raja Bantimurung, yang merupakan sumber mata air kecil di dalam goa. Masyarakat di sana percaya bahwa bagi siapa saja yang membasuh mukanya dengan air itu, maka akan awet muda....wow, langsung aja aku membasuh mukaku di sana...penghematan ongkos facial kalo memang benar demikian hehehe

Tempat bertapa Raja Bantimurung

Tempat shollat Raja Bantimurung

Tempat wudhu Raja Bantimurung / Sumur awet muda

Aku puas menyusuri goa dan memutuskan untuk kembali. Kebetulan, jam makan siang sudah tiba dan aku diundang Kepala Cabang Makassar untuk makan siang bersama. Pada saat melewati gerbang luar, aku melihat banyak penjaja suvenir berupa kupu-kupu yang diawetkan. Suvenir ini ditawarkan mulai harga Rp 10.000 sampai jutaan rupiah.